Dwi Jayanti

Sabtu seru. Setidaknya, lima agenda penting menunggu. Koordinasi pekanan, belajar bareng, observasi PPDB, home visit, dan pembinaan. Sayang, agenda terakhir tak terkejar. Terpaksa absen dulu.

Pukul 07.00, bertempat di ruang kelas 1, koordinasi dimulai. Mengaji bersama dan penyampaian informasi Sekolah menjadi menu utamanya. Rasanya tak sabar menunggu agenda berikutnya. Lima belas menit kemudian, Pak Teguh—yang ditunggu-tunggu—tiba. Saatnya belajar bersama.

Belajar bareng ini berkonsep sharing. Komunikasi berjalan dua arah, bahkan banyak arah. Setiap peserta bebas menyampaikan opini maupun pemikiran mereka. Pesertanya, selain Pak Teguh, adalah Kepala Sekolah dan semua guru di SD Islam Hidayatullah 02.

Entah mengapa, saya lebih menyukai diskusi semacam ini. Tidak kaku, yang dibahas juga tentang keseharian guru dan murid-muridnya. Chill. Kali ini, topik yang dibahas sangat menarik. Berkisar pengetahuan tentang anak-anak yang “spesial”.

Pak Teguh mengawali diskusi dengan memaparkan peringatan bagi guru dalam menghadapi anak-anak spesial ini. Guru(-guru) dilarang keras mendiagnosis kebutuhan khusus murid. Meski demikian, mereka harus responsif dan akomodatif jika merasa ada murid yang butuh penanganan khusus. Beliau juga menekankan pentingnya komunikasi positif, sinergi, dan penularan optimisme guru kepada orang tua.

Sebelum kegiatan ini, Pak Teguh sempat beberapa hari menyambangi kami di kelas. Saat KBM. Beliau mengamati dan mengulik kebiasaan murid-murid di kelas. Beliau menengarai kekhususan pada beberapa anak di kelas 1 dan 2.

“Saya bersyukur, kelasnya kondusif, murid-murid suportif,” komentar Pak Teguh.

Perbincangan makin gayeng. Saya mengamini perkataan Pak Teguh. Anak-anak memahami “kekhususan” teman mereka. Murid-murid bersikap wajar, bahkan mendukung upaya guru.

“Anak-Anak, kesepakatan kelas kita yang nomor 2 ialah saling mengingatkan. Namun, khusus untuk Mas AA, biar Bu Guru saja yang mengingatkan, ya,” jelas saya suatu hari. “Mas AA itu anaknya tidak bisa dipaksa.”

Saat itu, AA sedang marah dan memilih meninggalkan kelas. Saya bisa lebih leluasa membicarakan kekhususan yang dimilikinya.

“Iya, Bu. Waktu TK juga begitu,” celetuk salah seorang murid, yang sejak TK sekelas dengan AA.

“Menjadi seperti Mas AA itu tidak mudah, Teman-Teman. Dia sebenarnya tidak ingin marah. Tapi, rasa marah itu muncul spontan, tiba-tiba aja pengin marah walaupun masalahnya sepele. Jadi, kita pahami kondisi AA, ya,” ajak saya.

“Dulu, kalau AA marah, dia dipeluk sama Bu Guru,” sambung murid yang sama.

“Iya, kalau Mas AA sedang marah, Anak-Anak menjauh dulu, ya. Biar dia sama Bu Guru,” pungkas saya.

Bersyukur, AA berproses ke arah yang makin baik. Dulu, misalnya, kapten kelas tak berani mengingatkan jika AA belum mengikuti instruksi saat berdoa. Kini, AA tak marah jika kapten mengingatkannya. Bahkan, AA bersedia mengikuti instruksi kapten. Tentu dengan caranya sendiri.

Sebelumnya, saya melakukan uji coba. Saat kapten memberi instruksi untuk berdoa, saya membisiki kapten agar memanggil AA. Kala itu sikap AA belum sesuai instruksi. Saat namanya dipanggil, AA menyadari kealpaannya. Dia mengikuti instruksi yang disampaikan kapten. Tidak tersinggung, apalagi marah.

Ulasan Pak Teguh tentang iklim kelas yang kondusif dan suportif sangat membesarkan hati kami. Tidak dimungkiri, menjelaskan dan memahamkan kondisi AA kepada teman-temannya bukanlah perkara mudah. Namun, kecerdasan dan kepedulian anak-anak membuat perkara tak mudah itu terasa lebih ringan untuk dijalankan.

Anak-anak memang luar biasa. Lagi-lagi, kami—para guru—belajar banyak dari mereka. Kepekaan, empati, dan kebesaran jiwa mereka sungguh mengagumkan.

Bagikan:

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *