Eva Yulia Wahyu

Sejak di bangku kuliah, perbincangan mengenai anak spesial atau ABK selalu menjadi topik yang menarik. Ada ketertarikan untuk mempelajari lebih dalam. Sampai suatu hari saya melakukan observasi di sekolah inklusi yang ada di kota Semarang untuk kebutuhan data skripsi.

Ups, ternyata tak semudah yang ada di benak. Ketika mata ini menyaksikan para guru yang sabar, semangatnya dalam mengajar anak-anak dengan berbagai jenis keistimewaannya dalam satu kelas, “Luar biasa!” batin saya. Hanya mengamati saja rasanya sudah lelah. Apalagi jika turut andil dalam penanganan. Akhirnya, kesempatan belajar dan mengajar di sana tak jadi berlanjut karena nyali telanjur menciut.

Ternyata, Allah masih membukakan saya kesempatan untuk belajar lagi. Kali ini tidak bisa menyerah. Di tahun ajaran 2023/2024 ini, di kelas 1 ada seorang anak yang kami anggap istimewa. Butuh penanganan khusus dalam pengelolaan emosionalnya. Sebut saja X. Ia kesulitan mengontrol amarahnya. Sangat sensitif jika diganggu. Masih belum mengerti manajemen waktu. Anak ini juga susah untuk fokus dalam waktu yang lama.

Namun, di balik kekurangannya, tentu ada kelebihan. X anak yang cerdas. Bicaranya lantang, pandai bercerita, suka berimajinasi. Meski seakan tidak memperhatikan ketika guru menjelaskan, kadang-kadang X mampu menjawab pertanyaan dengan tepat. Begitulah, Allah Maha Adil dalam menciptakan segala sesuatu.

Kami, para guru, belajar dan berikhtiar bersama-sama untuk menemukan treatment yang baik dan sesuai. Salah satu ikhtiar kami adalah dengan mengundang guru kami, Pak Teguh, untuk berbincang-bincang di SD Islam Hidayatullah 02. “Bersahabat dengan anak ADHD” tema diskusi kami kali ini. Sabtu (21/10/2023) pagi, setelah mengaji bersama delapan guru dan Kepala Sekolah. Kami menempati ruang kelas 1. Pak Teguh menayangkan materi pada layar sekaligus menjadi pemandu diskusi.

Tidak ada susunan acara, moderator, ataupun operator. Diskusi berjalan santai apa adanya. Kami bebas bertanya dan mengemukakan pendapat.

Dari ciri-ciri ADHD yang dipaparkan oleh Pak Teguh, kami simpulkan memang terdapat banyak indikator yang cocok dengan kondisi X. Tetap saja, kami tidak berhak mendiagnosis. Prosedur diagnosis memerlukan skrining ketat melalui beberapa tahapan oleh ahlinya.

“Di sejumlah negara maju, ADHD menjadi wilayahnya pediatri. Melalui dokter anak dahulu, lalu mungkin melibatkan dokter saraf, dokter jiwa, dan dokter fisioterapi,” papar Pak Teguh.

Kami cukup tercerahkan dengan penyampaian beliau. Beliau juga menyampaikan bahwa sekolah tidak berhak memberikan keputusan kepada orang tua terkait tindak lanjut penanganan anak ADHD. Biarkan orang tua yang menentukan. Hal ini menjadi bekal saya dan Bu Wiwik, yang kebetulan pada hari itu juga akan melakukan home visit ke rumah X.

Sayangnya, diskusi ini terhenti karena ada aktivitas lain yang juga tak boleh ditunda. Apa boleh buat, semua tanggung jawab mesti ditunaikan.

Bagikan:

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *