Tristan saat diobservasi.

Kamis (12/1) pagi saya berkesempatan memberi kuis kepada anak-anak. Hanya satu soal. Saya ambil dari koleksi soal olimpiade matematika. Soal itu fokus pada bentuk angka dan kejelian melihatnya. Sebelum disajikan kepada anak-anak, soal itu saya perkirakan dapat dijawab dengan benar oleh empat anak. Ternyata, empat anak tersebut tidak menjawabnya dengan tepat. Meskipun agak kecewa, tetapi saya bisa memakluminya. Apalagi setingkat anak-anak kelas 1, beberapa teman guru pun tidak dapat menjawab dengan tepat ketika pertama kali saya tunjukkan soal tersebut.

Namun demikian, sebelum saya memberi tips untuk menjawabnya, ada satu anak (Daffa) yang berhasil menjawab dengan tepat. Saya penasaran. Saya tanyakan, bagaimana ia menemukan jawaban itu. Ia kesulitan menjelaskan. Saya pun berpikir, jangan-jangan Daffa hanya asal tebak. Kebetulan saja benar. Maka terpaksa saya beri soal kedua. Daffa pun menjawab dengan tepat. Akhirnya saya baru yakin, Daffa tidak asal tebak.

Memang saya sering berpikir logis dan rasional. Bila pikiran saya menganggap tidak logis, otomatis muncul bejibun pertanyaan untuk menggali informasi atau sekadar konfirmasi. Sebenarnya saya juga menyadari. Dalam kehidupan ini tidak semuanya harus logis dan rasional. Bukankah kemampuan akal manusia terbatas? Namun, tetap saja dalam pikiran selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban.

Tidak hanya dengan  Daffa di Kamis itu, sebelum itu saya juga pernah mengalaminya.

***

Pak Herman berkunjung kali pertama di SD Islam Hidayatullah 02 pada Sabtu, 27 Agustus 2022. Beliau mencari informasi mengenai PPDB tahun ajaran 2023/2024. Beliau hendak mencarikan sekolah untuk putranya, Tristan. Kebetulan PPDB belum dimulai, maka tentang biaya, beliau hanya memperoleh info PPDB tahun sebelumnya. Beliau tidak menjanjikan mendaftar di SD Islam Hidayatullah 02. SD-SD swasta lainnya hendak beliau kunjungi. Dengan begitu Pak Herman lebih leluasa memilih SD. Di Banyumanik SD Swasta sangat banyak. Sebut saja misalnya, SDIT Bina Insani, SD Semesta, SDIT Al  Kamilah, SD Permata Bangsa, SD Islam Al Azhar 14, dan SD Islam Pangeran Diponegoro.

Selasa, 11 Oktober 2022 Pak Herman berkunjung untuk kedua kalinya. Panitia PPDB menemui beliau. Kebetulan per 1 Oktober 2022 PPDB tahun ajaran 2023/2024 sudah mulai dibuka. Mendapat penjelasan dari Panitia, Pak Herman kaget. Biayanya ternyata naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Beliau meminta izin bertemu saya. Namun, saya sedang ada acara. Hari itu saya tidak dapat menemui Pak Herman. Sore harinya, beliau chat saya.

“Kapan saget kepanggeh? Beberapa hal hendak saya tanyakan. Sekaligus istri mau lihat-lihat fisik gedung.”

Setelah menimbang kegiatan Pak Herman dan kegiatan saya, akhirnya sepakat akan bertemu pada Kamis, 13 Oktober 2022. Sore hari. Maklum, Pak Herman dan istrinya sama-sama bekerja.

Kamis sore Pak Herman berkunjung kali ketiga. Kali ini lengkap. Istri dan anak turut serta. Bu Herman tampak memperhatikan gedung SD Islam Hidayatullah 02, sebelum akhirnya masuk ke ruang guru. Di ruang guru saya mulai mengajak bicara ketiga tamu itu, tak terkecuali Tristan. Tanpa segan Bu Herman bertanya banyak hal tentang sekolah, fisik maupun nonfisik (kegiatan, layanan, hubungan guru-murid, dan lain-lain).

“Beginilah kondisi fisik gedung sekolah kami, sebagaimana yang Bu Herman pirsani,”

“Ini gedung lama, ya, Pak?” Tanya Bu Herman seolah hendak mendengarkan penegasan.

“Iya, Bu.”

“Kami boleh lihat ruang kelasnya?” tanya Bu Herman.

“Boleh, Bu. Monggo!

Pintu ruang kelas 1 saya buka. Bu Herman, Tristan, dan Pak Herman saya persilakan masuk.

“Ruang kelasnya bagus! Lebih bagus dari gedung tampak luar,” ujar Bu Herman.

“Alhamdulillah, guru kami sangat kreatif membuat aransi kelas.”

“Biayanya tidak bisa turun, Pak?”

“Mohon maaf, Bu. Seperti itulah biayanya, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya.”

“Sebetulnya kelasnya bagus, kegiatan dan layanannya juga bagus. Sayang sekali biayanya ….”

Saya sangat bisa memahami dilema yang dirasakan Pak Herman. Namun, Pak Herman dan saya sama-sama pernah kuliah di Matematika UNNES. Saya yakin Pak Herman dengan mudah berpikir rasional dan tidak terlalu sulit untuk memutuskan.

“Pak Herman sudah lihat sekolah lain, kan?”

“Iya, sudah,”

“Lalu mengapa masih tampak bingung memutuskan?”

“Sepertinya kami masih butuh diskusi lagi.”

“Baik, Pak Herman. Saya sangat bisa memahaminya. Apa pun keputusannya, saya menghargainya. Termasuk bila Pak Herman memutuskan untuk mendaftar di sekolah lain. Barangkali biayanya sepadan dengan fisik gedungnya.”

“Akan kami diskusikan kembali.”

“Sekadar saran, Pak Herman. Bila masih bingung dan ragu mengambil keputusan, bisa dicoba untuk istikharah terlebih dahulu.”

***

Sabtu, 15 Oktober 2022 Pak Herman berkunjung lagi. Ini kali keempat. Hanya bersama putranya. Istrinya tidak ikut. Saya menemuinya di ruang kelas 1.

“Setelah diskusi panjang dengan istri, insyaallah kami sepakat dan mantep untuk mendaftar di sekolah ini,” kata Pak Herman di awal pembicaraan.

“SD Islam Hidayatullah 02?” saya terkejut sembari mengonfirmasi ucapan Pak Herman.

“Iya, Pak.”

“Yakin?”

“Sangat yakin.”

“Bagaimana dengan istri Pak Herman? Mengapa tidak memilih sekolah lain?”

“Kami sudah sepakat.”

“Bolehkah saya tahu, mengapa tetap mantep memilih sekolah ini?”

“Anak kami ini banyak gerak. Butuh perhatian intensif.”

“Kalau itu, di sekolah lain pun dapat perhatian intensif sama dengan sekolah ini.”

“O, beda.”

“Bedanya?”

Lo, jenengan kok lucu. Ada yang mau ndaftar, kok …?”

“Bukan begitu maksud saya. Tentu saya sangat senang dan berterima kasih sekali bahwa Pak Herman bermaksud mendaftar di sekolah kami. Namun, sejujurnya saya merasa ada yang aneh. Memakai ukuran akal pikiran saya, itu tidak rasional dan tidak logis. Jadi, saya betul-betul penasaran.”

“Begini, ini pengalaman istri saya. Ia dulu sekolah di negeri, SMP dan SMA-nya. Jumlah siswanya banyak. Ia merasa tidak mendapat perhatian intensif dari guru. Sekarang ini, saya dan istri sama-sama bekerja. Kami ingin yang terbaik untuk anak kami. Jadi, istri saya tidak ingin apa yang dulu dialaminya terjadi pada anaknya.”

“Bagaimana istri yakin di sekolah ini akan mendapat perhatian dari gurunya?”

“Lo, saya sudah ke sini berkali-kali. Istri saya juga sudah merasakan sendiri saat berkunjung ke sini.”

“Tapi itu kan belum nyampe tujuh kali?”

“Baik, sejujurnya begini,”

Gimana?”

“Murid di sekolah yang jumlah siswanya lebih sedikit kami yakini lebih kopen. Itulah alasan utama kami mantep mendaftar di sekolah ini.”

“O, itu. Ya, ya, saya bisa memahaminya. Saya sering mendengar dalam konteks pesantren. Banyak wali santri yang memilih pesantren kecil—pesantren dengan jumlah santri sedikit—dengan pertimbangan akan lebih intensif bertemu dengan kiai—guru utama di pesantren. Berbeda dengan pesantren besar, sangat jarang kiai bertemu dengan santrinya, mungkin hanya setahun sekali. Di pesantren besar, yang lebih sering bertemu dengan santri adalah ustaz—guru di pesantren yang levelnya di bawah kiai.”

“Ya, seperti itulah pertimbangan kami.”

“Kalau itu memang logis. Doakan saja, saya dan guru-guru di sekolah ini dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.”

“Saya sangat yakin dan saya nderek titip anak, nggih.”

Tristan saat diobservasi.

Jawaban Pak Herman terterima di pikiran saya. Sangat logis. Namun, saya terpana beberapa saat. Ternyata masih ada orang yang tidak hanya melihat kulit, tetapi berusaha melihat isinya. Memang sering dijumpai, kulit berbeda dari isinya. Semoga guru-guru di sekolah ini dimudahkan dalam mendidik dan ngopeni murid-muridnya. (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *