“Mari kita tunaikan salat. Sehari semalam lima waktu.”

Bel penanda waktu salat Zuhur terdengar di seluruh penjuru Sekolah. Di kelas, para siswa melafalkan tepuk dan niat wudu dipimpin oleh kapten kelas. Sebelumnya, semua siswa dipastikan telah melipat lengan baju dan celana mereka. Rutinitas setiap hari yang kini terasa lebih ringan dilaksanakan.

Benar kata Ustaz Haris—Direktur LPIH—bahwa fitrah anak adalah pembelajar tangguh. Dulu, butuh waktu kurang lebih sepuluh menit bagi para siswa melipat lengan baju dan celana. Dulu, banyak siswa yang kesulitan melepas kancing lengan baju. Dulu, banyak anak yang butuh bantuan melipat lengan bajunya. Alhamdulillah, berkat ketangguhan mereka, kini tugas guru semakin ringan.

Seusai niat wudu, guru kembali mengingatkan tentang cara membasuh muka dan tangan. Beberapa hari ini, kedua prosedur itu menjadi fokus untuk dikuatkan kepada para siswa.

“Anak-Anak, saat membasuh muka, tadahkan air di kedua telapak tangan. Fungsikan telapak tangan kita sebagai wadahnya. Lalu, basuh muka dari dahi sampai dagu. Jangan lupa, membasuhnya harus rata sampai mendekati rambut dan telinga.”

Para siswa sudah hafal prosedur itu. Sang Guru tak peduli. Tak ada salahnya mengingatkan lagi (dan lagi). Pun dengan prosedur membasuh tangan.

“Kelompok wudu A, silakan mengambil sandal lalu wudu. Kelompok wudu B, silakan mengambil sandal, lalu menunggu kelompok A di tempat duduk.”

Dua belas siswa telah lulus tes rukun wudu. Mereka berhak berwudu secara mandiri. Mengimbangi jumlah keran yang ada, tujuh siswa—kelompok wudu A—disilakan wudu terlebih dahulu. Lima anak lainnya—kelompok wudu B—menjadi “kloter” wudu kedua.

Azan telah usai dikumandangkan oleh Pak Slamet. Sembari menunggu semua jemaah selesai berwudu, selawat Quraniyah dilantunkan. Selang beberapa waktu, Pak Kambali memberi kode kepada Pak Slamet untuk mengumandangkan ikamah. Rupanya, beberapa siswa putra menunjukkan minat mereka untuk ikamah. Sempat kebingungan, akhirnya Pak Kambali memberi kesempatan kepada Langit.

“Hari ini yang ikamah Langit dulu. Besok gantian yang lain, ya.”

Langit pun mengumandangkan ikamah dengan percaya diri.

Suasana sedikit riuh kala itu. Para siswa sibuk mengoper kertas berisi teks selawat ke sisi kanan mereka. Siswa paling ujung kanan bertugas mengumpulkannya ke salah satu sudut musala.

“Allahu Akbar,” Pak Kambali memimpin salat Zuhur berjemaah.

Allah Maha Besar. Seketika hening! Rasa haru menyeruak. Anak-anak kecil itu telah membuktikan ketangguhannya lagi.

Seusai salat jemaah, lantunan zikir pendek dan doa bergema. Seluruh jemaah turut melafalkannya, kecuali satu anak. Saat zikir dilafalkan bersama, ia fokus melipat sajadahnya. Alhamdulillah, ia turut membaca doa setelah sajadahnya terlipat.

“Anak-anak silakan mengembalikan sajadah ke lemari dengan tertib,” izin Pak Kambali.

“Permisi,” ucap beberapa anak saat melewati gurunya, sambil membungkuk. Terasa desiran sejuk di dalam dada. Kembali terbukti: mereka tangguh!

“Mas Haqqi, bisa bicara sebentar? Sini, duduk dekat Bu Guru.”

Haqqi kebingungan, lalu menuruti kata gurunya.

“Mas Haqqi, tadi Bu Guru melihat Haqqi tidak ikut zikir. Haqqi malah melipat sajadah. Sekarang diulang dulu zikirnya sama Bu Guru, ya.”

Ia menurut.

“Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullah. Subhanallah. Subhanallah. Subhanallah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. La ilaha illallah. La ilaha illallah. La ilaha illallah,” keduanya melafalkannya bersama-sama.

“Alhamdulillah. Lain kali Mas Haqqi ikuti zikir dan doanya dulu, baru melipat sajadah, ya.”

“Ya, Bu,” jawabnya singkat sambil mengulurkan tangan kanannya lalu mencium punggung tangan gurunya.

Keesokan harinya. Dengan rutinitas yang sama. Tibalah saat pembuktian. Seusai salat Zuhur berjemaah, Haqqi khusyuk melantunkan zikir dan doa. Lepas itu, ia menoleh ke belakang. Mencari gurunya yang kemarin mengajaknya membaca zikir berdua.

Sang Guru menangkap tatapan mata Haqqi, ia tersenyum sembari mengacungkan ibu jari tangan kanannya. Seulas senyum tipis tersungging di sudut bibir anak itu. Haqqi lantas melipat sajadahnya, mengembalikan ke lemari, kemudian menghampiri gurunya.

“Hari ini Haqqi hebat, tadi Bu guru lihat zikirnya khusyuk. Besok-besok begitu terus, ya, Nak,” ucap Bu Guru sembari menerima uluran tangan muridnya itu.

“Terima kasih, Haqqi. Kamu adalah pembelajar tangguh,” Sang Guru bersenandika.

Itulah anak-anak. Mereka merasa hebat jika menjadi yang tercepat. Kemarin Haqqi berprestasi. Ia sportif menerima konsekuensi akibat kealpaannya. Pun hari ini, Haqqi berprestasi. Ia mampu meredam egonya menjadi yang tercepat. Ia tangguh untuk mengesampingkan hasratnya. Walaupun tidak cepat, kamu hebat, Haqqi. (A2)

Bagikan:
3 thoughts on “Pembelajar Tangguh#2”
  1. […] studi banding kali ini makin menguatkan perspektif saya. Dalam keterbatasan, kita akan “dipaksa” berpikir lebih kreatif untuk tetap mengoptimalkan proses sehingga target yang direncanakan tetap tercapai. Terima kasih, […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *