“There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.”

Hanya ada dua pusaka abadi yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita: akar dan sayap.

Tidak diketahui secara pasti, siapa yang kali pertama mencetuskan ungkapan bijak tersebut—dengan redaksi beragam. Quote Investigator mencatat sedikitnya tiga nama yang sering disebut sebagai sumber kutipan: Henry Ward Beecher, pendeta Kristen (1813—1887), William Hodding Carter Jr., jurnalis terkemuka (1907—1972), dan Jonas Erward Salk, ilmuwan virologi (1914—1995). Ketiga-tiganya berkebangsaan Amerika.

Hodding Carter sendiri menyandarkan ungkapan tersebut kepada seorang wanita bijaksana—entah nyata atau sekadar tokoh khayali. “A wise woman once said to me that there are only two lasting bequests we can hope to give our children. One of these she said is roots, the other, wings,” tulisnya di bukunya Where Main Street Meets the River (1953).

Siapa pun pencetusnya, kutipan tersebut mengandung pesan yang sangat dalam dan selalu relevan di segala zaman. Anak adalah masa depan orang tuanya. Dapat dipastikan, setiap orang tua mendambakan anak-anaknya memiliki masa depan yang baik, lebih baik daripada orang tuanya. Oleh sebab itu, setiap orang tua berhasrat dapat meninggalkan warisan yang menjamin masa depan anak-anaknya.

Adalah wajar bila orang tua khawatir, bila sepeninggalnya kelak, anak-anak mereka menjadi generasi yang lemah. Allah pun mengingatkan, “Hendaklah takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan di belakangnya keturunan yang lemah, yang membuat mereka khawatir. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang tepat.” (Q.S. 4: 9)

Pesan ayat itu yang barangkali mendorong sebagian orang tua mendedikasikan seluruh jerih payahnya demi anak-anak mereka. Sementara orang tua merasa berdosa jika membiarkan anak-anak mereka mengulang kesulitan-kesulitan serupa yang mereka alami sendiri pada masa lalu. Alhasil, orang tua sekuat daya upaya berusaha menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memudahkan anak-anaknya dalam menggapai masa depan gemilang.

Spirit ayat suci itu juga berhasil menggugah kesadaran orang tua untuk sedini mungkin menyiapkan pusaka yang mudah diwarisi oleh anak-anaknya. Properti, asuransi, deposito, saham, hingga perusahaan adalah beberapa contoh investasi yang jamak menjadi pilihan. Semua itu dimaksudkan untuk menghindarkan anak-anak dari kesulitan hidup sewaktu-waktu ditinggalkan oleh orang tuanya.

Semangat menyiapkan masa depan anak-anak tidak jarang membuat orang tua merasa perlu, bahkan wajib, memilihkan sekolah yang dianggap paling berpeluang mengantarkan anak-anak ke profesi yang aman dan nyaman. Singkatnya, demi masa depan anak-anak, apa pun layak untuk diperjuangkan sepanjang terjangkau oleh sumber daya yang dimiliki orang tua.

Seheboh itukah makna pesan surah An-Nisa’ ayat 9? Bagaimana fungsi kalimat kedua, yang memungkasi ayat tersebut? Mengapa takwa dan dialog proporsional ditawarkan sebagai pasangan solusinya?

There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.

Akar dan sayap. Dua kata metaforis ini menemukan padanan maknawi yang tepat di dalam bahasa Jawa: sangkan dan paran. Akar menunjukkan sangkan (asal-usul, home). Sayap merepresentasikan alat untuk leluasa mencapai segala paran (penjelajahan, journey).

Layakkah internalisasi asal-usul (akar, roots) dan ketangkasan menjelajah (sayap, wings) diklaim sebagai dua pusaka abadi? Dan hanya dua pusaka itukah yang akan abadi? Mari, kita runut.

Akar menjelaskan jati diri seseorang: dari mana ia berasal, siapa dirinya sejatinya, dan di mana jiwanya bersemayam. Sementara, sayap memberinya kebebasan: melanglang buana, menjelajahi segala keindahan yang dimiliki dunia, mengambil apa-apa yang selaras dengan karakternya dan meninggalkan yang tidak sesuai. Akar menjadi tumpuan berpijak, sedangkan sayap memungkinkan ia mengeksplorasi keanekaragaman isi dunia. (MBA Karlo, 21 Desember 2021)

Akar membentuk fondasi kepribadian seseorang, menegaskan arti keberadaannya (sangkaning dumadi). Pribadi yang mengakar kuat tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip hidupnya. Akar sekaligus menunjukkan ke mana tujuan akhir hidupnya (paraning dumadi). Kapan pun ia menghadapi situasi yang membuat bimbang—ketika harus memilih ini atau itu, mengikuti jalan sini atau sana—akar memandunya untuk menemukan jalan yang benar.

Sayap memberi seseorang kebebasan yang mengantarkannya mencapai kemandirian. Sayap memberikan kekuatan untuk mengarungi dunia. Dari burung terbesar hingga serangga terkecil—sejak kali pertama menjajal terbang—mereka harus terbang sendiri, tanpa sokongan siapa pun. Induk mereka membiarkan mereka terbang di angkasa, belajar sendiri bagaimana mengatasi gejolak angin dan cuaca. Pengalaman menghadapi dan memecahkan berbagai masalah itu menjadi bagian proses pendewasaan. Demikianlah kehidupan. Setiap manusia mesti sanggup menghadapi dunia sendirian.

Sembari terbang, setelah menjelajah dunia dan mendapati hal-hal baik dan buruk, orang mesti tahu jalan kembali. Di sinilah akar berperan. Ini menjadi ukuran seberapa dalam dan kuat akar itu menghunjam membentuk kepribadiannya. Banyak kasus menunjukkan orang lupa akarnya. Keindahan dunia dengan segala pernak-pernik perhiasannya membuat orang terpesona hingga tak kunjung kembali ke sarangnya. Namun, sebaliknya, masih banyak orang yang setia pada akarnya kembali pulang ke rumahnya setelah melanglang jagat raya.

Seseorang harus memiliki akar yang kokoh sebelum melancarkan penerbangan perdana. Di belantara angkasa ia akan menjumpai aneka pesona yang sewaktu-waktu menjelma godaan binal atau hasutan liar. Tanpa internalisasi akar, ia akan mudah terperangkap oleh beragam pesona yang meninabobokan hingga lupa jalan pulang. Padahal, alamat asal penciptaan (sangkaning dumadi) dan alamat pulang (paraning dumadi) itu merujuk kepada titik koordinat yang sama: Sang Khalik. Maka, dalam sufisme Jawa dikenal konsep Sangkan Paraning Dumadi.

***

Dalam diskursus agama Islam, kesadaran akan sangkan paraning dumadi itu mengejawantah ketundukan terhadap syariat yang meliputi tiga dimensi: akidah (iman), ibadah (Islam), dan akhlak (ihsan). Antaragama bisa saling berbeda dalam ranah akidah dan ibadah. Namun, semua agama dan kepercayaan—termasuk ateisme—memiliki standar yang sama dalam ranah akhlak.

Akar tidak lain adalah akhlak, budi pekerti, karakter. Anak-anak mutlak membutuhkan “celupan wenter” karakter demi keselamatan dirinya dalam mengarungi samudra kehidupan. Karakter moral (etik) dan karakter unjuk kerja (etos) menjadi kompas yang akan memandu anak-anak menemukan jalan kembali ke jati dirinya sebagai manusia—makhluk bermartabat mulia.

Sayap adalah kecakapan atau keahlian, baik akademis ataupun vokasional. Dengan kecakapan yang dimiliki, seseorang memiliki kesempatan untuk bertualang ke mana pun ia mau dalam rangka menemukan panggung aktualisasi diri. Petualangan itulah yang akan menguji kekuatan karakter seseorang.

Bila kejujuran telah mendarah daging menjadi kepribadian seseorang, peluang berbuat curang tidak menggoyahkan karakter jujurnya. Dalam situasi apa pun ia yakin, jujur itu jauh lebih luhur daripada sekadar makmur. Bagi seseorang yang sudah tercelup karakter resiliensi, kerja keras menjalani proses hingga tuntas jauh lebih berkelas daripada asal lekas dengan menerobos jalan pintas. Menyelesaikan urusan lewat pintu belakang, dalam pandangannya, sama dengan menjual kehormatan untuk membeli kesesatan.

Kelemahan karakter jauh lebih berbahaya daripada kelemahan akademis dan vokasional. Orang yang berkarakter akan menggunakan senjata sabar untuk menghadapi kemunduran atau kegagalan di dunia akademis, pekerjaan, atau bisnis. Sebaliknya, kesuksesan dan keberuntungan akan direspons dengan mantra syukur.

Menghadapi situasi apa pun, diuji dengan masalah seberat apa pun, jika karakter sudah berurat berakar di dalam pribadinya, orang akan selalu kembali ke martabat asalinya. Karakter ibarat fitur reset dalam teknologi digital. Sewaktu-waktu pikiran mengalami eror, kepekaan karakter akan mengembalikannya ke setelan asali (default).

Secara default, manusia memiliki martabat luhur. Namun, sewaktu-waktu ia terancam untuk terpelanting ke dasar jurang kenistaan. Hanya satu set safety device yang menjamin keselamatan: keyakinan akan keadilan Hakim Yang Maha Adil di mahkamah pembalasan yang dibuktikan dengan perilaku saleh. (Q.S. 95: 4—8)

Berbeda dari akar nilai-nilai kebajikan yang prescribed dan berlaku secara universal, sayap mengakomodasi kehendak bebas. Namun, kebebasan terbang itu akan mengantarkan seseorang ke destinasi terbaik jika gaya gerakan, ketinggian, dan kecepatan terbangnya selaras dengan fitur sayapnya masing-masing. Adalah naif jika sayap kolibri dipaksakan untuk terbang ala elang. Sayap kolibri didesain untuk menggapai nektar dan serangga yang tidak perlu diintai dari ketinggian seperti mangsa elang.

Dengan setia pada akar (norma kebajikan) dan kanaah atas fitur sayap (bakat dan passion) yang dianugerahkan Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana, seseorang akan beroleh kepuasan sejati dalam melakoni profesinya dan selalu menemukan jalan pulang di mana pun posisinya.

Pusaka abadi hanya dua: akar dan sayap. Antisipasi kemungkinan meninggalkan generasi lemah juga dua: takwa dan dialog proporsional. Pendidikan sejatinya adalah forum dialog untuk mempertemukan passion anak dengan bidang studi untuk menyalurkannya. Pendidikan menjadi paripurna jika mampu memusakai anak dengan akar dan sayap yang sama-sama kuat.

Ibu dan Bapak Guru, Ayah dan Bunda orang tua siswa, selamat menyiapkan pusaka abadi untuk anak-anak amanah Ilahi.

Tabik.

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

4 thoughts on “Dua Pusaka Abadi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *