Rabu sore, 18 Juni 2025 bakda asar, guru dan staf berkumpul. Tidak di ruangan, melainkan di selasar. Selasar disulap menjadi area duduk. Karpet musala dipindah ke selasar. Sebagian digelar di lobi. Sejak pagi, kami sudah sibuk. Menata dan mempersiapkan acara.
Bu Shoffa—“komandan” acara—memandang perlu untuk berkoordinasi dulu. Meski sudah melebihi jam kepulangan. Bersyukur, teman-teman tak keberatan. Kami berpikir keras. Mengidentifikasi apa yang sekiranya luput.
“Ada lagi, Bapak/Ibu?” tanya Bu Shoffa.
Kami saling beradu pandang. Senyap. Rasanya sudah terbahas dan terantisipasi semua. Bu Shoffa pun mengakhiri koordinasi. Sebelum benar-benar diakhiri, kami bersepakat besok pagi berangkat pukul 06.30.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sebelum 06.30, teman-teman sudah hadir di Sekolah. Hiruk pikuk kesibukan begitu terasa. Pak Adhit berkutat dengan urusan sound dan lampu. Ibu-Ibu menata snack box dan area gelar karya di teras. Ada pula yang tegang karena sertifikat penghargaan belum tertandatangani Pak Kambali. Saya juga gugup. Buku tulisan anak masih di percetakan. Pagi ini baru diantar. Saya mengabaikannya. Setidaknya masih ada satu buku lain yang sudah siap.
Baca juga: Panggung Autentisitas
Ya, selain pentas, ada pula peluncuran buku. Buku tulisan anak-anak dan tulisan guru. Sayang, buku tulisan guru belum naik cetak. Kami terlambat menyusunnya. Hingga Rabu, kami baru menyelesaikan pengeditan.
Beberapa hari ini Pak Kambali sakit. Meski demikian, beliau tetap berangkat. Hingga akhirnya, beliau menyerah pada hari Rabu. Izin untuk istirahat dulu di rumah. Ups, tidak sepenuhnya istirahat. Pak Kambali masih intens memantau perkembangan kondisi Sekolah.
“Alhamdulillah, kondisi saya terus membaik. Insyaallah, hari ini saya berangkat sekolah. Namun, kemungkinan terlambat. Semoga sebelum 07.45 sudah tiba di sekolahan. Acara dilaksanakan sesuai rencana saja. Andai tiba saatnya, kok, saya belum ada, saya memohon, Bu Wiwik berkenan mewakili saya. Insyaallah, acara hari ini berjalan lancar, dimudahkan, berkah, dan manfaat.”
Pak Kambali mengirimkan pesan tersebut Kamis pagi pukul 06.08. Saya bersyukur sekaligus khawatir. Bersyukur, kondisi Pak Kambali sudah membaik. Khawatir, jangan-jangan beliau memaksakan diri.
Pukul 07.00, anak-anak diminta berkumpul di depan panggung. Duduk berjajar sesuai kelas. Kapten tiap kelas diminta memimpin doa. Usai berdoa, saya menyampaikan beberapa pesan kepada anak-anak.
“Teman-Teman, setelah ini nanti boleh ke kelas masing-masing. Kecuali kelas 3, khusus hari ini ruangannya di UKS. Ikuti arahan Bapak/Ibu Guru. Anak-Anak boleh bermain, namun bermainnya tidak di area karpet. Area karpet digunakan untuk duduk para tamu. Kemudian, Bapak/Ibu Guru berpesan, Anak-Anak menjaga diri, bersikap sopan, dan berbicaranya cukup level 1.”
“Bapak/Ibu Guru yang lain, ada yang hendak menambahkan?”
Tidak ada.
“Silakan Anak-Anak kembali ke ruangan masing-masing dengan tenang, dimulai dari anak putri kelas 1.”
Anak-anak berjalan mengular menuju ruangan yang telah ditentukan.
Sesuai arahan Pak Kambali, pukul 07.55 acara dimulai. Elora, Fatih, Qaleed, dan Nadia beriringan naik ke panggung. Baru satu menit berlangsung, terlihat dua orang anak—Itaf dan Bintang—melewati penonton. Membungkuk setengah berlari. Dari arah teras menuju sisi kiri panggung. Itaf dan Bintang didapuk menjadi seksi dokumentasi. Keduanya dipinjami gawai Sekolah untuk melaksanakan tugasnya.
Baca juga: Buku Karya Siswa
Tampilan kedua belum juga dimulai, ada lagi seorang anak kembali melewati penonton. Masih konsisten dengan membungkuk. Anak yang sama: Itaf. Selain Itaf dan Bintang, ada Shelo, Salma, Rafa, Sabrina, Hasna, Lintang, dan banyak anak lainnya. Saya merasa tidak nyaman dengan kondisi ini. Pun dengan Bapak/Ibu Guru lain. Setidaknya, yang sempat menyampaikan ke saya ada Bu Yunita dan Bu Eva. Bahkan, di grup WhatsApp Sekolah, Pak Kukuh menyampaikan imbauan, “Mohon Bapak/Ibu mengingatkan anak-anak untuk tidak berseliweran di depan panggung jika tidak ada kepentingan (mendesak).”
“Mbak Shelo dan Mbak Salma mau ke mana?” tanya saya.
“Mau mengembalikan ini, Bu,” jawab Shelo sembari memperlihatkan bingkisan snack dari Sekolah.
“Mbak Shelo jaga stan, kan? Di sana, kan, ada mejanya. Jadi, snack-nya disimpan di laci meja saja. Kalau nanti Mbak Shelo pengin makan, tinggal ambil dari laci. Tidak perlu keluar masuk lobi ke kelas lagi,” terang saya.
“Emang boleh makan, Bu?”
“Boleh, dong. Sekarang ambil minumnya di kelas lalu kembali ke meja stan lagi, ya. Dan, jangan keluar masuk lagi kalau tidak ada hal yang mendesak.”
Shelo dan Salma mengangguk. Keduanya lantas berlalu.
Beberapa saat kemudian, saya juga menegur Rafa. Beberapa kali Rafa tampak keluar masuk lobi menuju kelas. Meski demikian, satu hal yang sangat saya apresiasi dari anak-anak. Mereka konsisten membungkuk saat berjalan melewati hadirin.
Kejadian ini luput dari mitigasi saat koordinasi sehari sebelumnya. Kami menyadari betul kurang cermat dalam perencanaan. Selain ini, masih ada banyak hal yang perlu kami benahi. Semua terbicarakan saat sesi evaluasi pada Sabtu pagi. Namun, segala kekurangan ini tak lantas menyurutkan semangat kami. Semangat untuk terus bertumbuh. Tumbuhnya kami pun tak boleh asal tumbuh (liar), melainkan tetap konsisten pada tujuan awal: ekshibisi yang bermakna. (A2)