“Ini sarapan pagi ini untuk teman-teman yang ikut membincangkan asesmen pembelajaran. Selamat menikmati.”
Pesan tersebut dikirim Pak Teguh di grup Telegram “Klinik Asesmen dan Pembelajaran” sebelum mengawali pelatihan.
Rabu, 2 Juli 2025 berlangsung pelatihan mengenai asesmen pembelajaran di SD Islam Hidayatullah 02. Pak Teguh sebagai pemateri. Pesertanya para guru, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran. Alhamdulillah, kedua kepala sekolah—lama dan baru—berkenan hadir: Pak Kambali dan Bu Nana. Pak Kambali menjabat kepala sekolah sejak SD Islam Hidayatullah 02 berdiri 4 tahun yang lalu. Sementara, Bu Nana—nama lengkapnya Ratna Arumsari—menggantikan Pak Kambali 2 x 24 jam sebelum acara dimulai.
Sebelum pelatihan dimulai, Pak Teguh mengirimkan tulisan beliau yang berjudul “Banyak Pelatihan, Kurang Latihan” sebagai “sarapan”. Saya merasa tertampar. Yang saya tangkap setelah membaca tulisan beliau, saya seperti dimarahi.
“Jangan cuma ikut pelatihan, tapi juga banyak latihan!” batin saya. Mak jleb!
Pekan sebelumnya, kami juga sudah diberi materi sebagai bahan pelatihan. Beberapa video dan dokumen. Isinya mengenai pembuatan soal, kisi-kisi, dan hal-hal terkait penilaian. Saya rasa ini sebagai bahan diskusi saat pelatihan.
“Sudah dilihat videonya? Ada pertanyaan? Kalau tidak ada, kita sudahi pertemuan kali ini,” pancing Pak Teguh.
Pertanyaan itu mengawali pelatihan pagi itu. Lebih tepatnya diskusi dan berlatih bersama. Beberapa pertanyaan dari bapak/ibu guru pun dilemparkan satu per satu. Lalu, dikupas tuntas oleh Pak Teguh.
Selanjutnya, kita diajak untuk mencermati tulisan Pak Teguh yang berjudul “Sambil Ngopi” dan “Memang Layak Dipersoalkan”. Dari situ kita belajar, seorang guru wajib membuat soal dengan memperhatikan kaidah-kaidah pembuatan soal. Baik substansi, konstruksi, maupun bahasanya. Harus jelas apa yang ingin diuji. Sehingga indikator menjadi hal yang penting.
“Ujilah hanya apa yang perlu diuji!” wanti-wanti Pak Teguh.
Selanjutnya, Pak Teguh membahas mengenai pembuatan kisi-kisi. Sebagai dasar pembuatan soal.
“Satu kisi-kisi bisa digunakan untuk menyusun soal bertahun-tahun, karena sejatinya paradigma belajar tidak pernah berubah,” tegas Pak Teguh.
Yups, setelah itu pembahasannya adalah mencermati berbagai contoh kisi-kisi.
Di sesi terakhir Pak Teguh membahas mengenai asesmen formatif dan sumatif.
“When a cook tastes the food, it’s formative. When a guest tastes the food, it’s summative. Ketika koki mencicipi masakannya sendiri, itu adalah formatif. Tapi ketika tamu mencicipi masakan restoran, itu adalah sumatif,” analogi Pak Teguh.
Semua pernyataan Pak Teguh hanya membuat saya manggut-manggut.
“Ini bukan hanya pelatihan, tapi benar-benar latihan,” batin saya.
Ya, kita tidak hanya mendengarkan pemateri, dapat snack, sertifikat, lalu pulang. Tapi kita berlatih. Berlatih mengenai berbagai instrumen asesmen. Seperti guru yang harus belajar, belajar, belajar, dan mengajar. Sama halnya dengan guru harus latihan, latihan, latihan, sebelum memberi pelatihan.