“Masih masuk, Pak?” tanya Bu Nurul.

“Mestinya sudah libur, Bu, tetapi teman-teman saya ajak masuk. Belajar bareng Pak Teguh,” jawab saya.

Sebenarnya ada opsi dijadwalkan pascalebaran. Namun, risikonya jauh lebih besar. Kegiatan sudah makin padat dan teman-teman berpeluang kurang fokus. Apalagi, tahun ini memang libur akhir Ramadan dimajukan dari rencana semula. Akhirnya, kami mantap: dilaksanakan Sabtu, 22 Maret 2025. Seluruh guru SDIH 02 tetap masuk. Walaupun itu hari pertama libur. Adapun pengabdi non-guru dipersilakan mulai libur di hari tersebut

Kegiatan itu bertajuk “Menulis sebagai Terapi”. Dimulai pukul 08.00. Bertempat di musala. Tepatnya, ruang kelas yang difungsikan sementara sebagai musala. Tempat murid kelas 1, 2, dan 3 melaksanakan jemaah Zuhur. Narasumbernya, Pak Teguh. Pesertanya, sebelas guru. Seluruhnya pengabdi karier.

Sekitar pukul 10.00 kegiatan telah berakhir. Ups, ternyata teman-teman tak ingin kehilangan kesempatan. Mumpung bertatap muka dengan Pak Teguh. Teman-teman pun bertanya dan menyampaikan beragam unek-unek. Tak hanya tentang menulis, tetapi juga masalah pembelajaran, asesmen, pengelolaan kelas, pedagogi, termasuk permasalahan murid-murid. Pertemuan baru benar-benar berkahir pukul 11.20

Alamdulillah, sebelum pulang, teman-teman kerkesempatan jemaah Zuhur terlebih dahulu di Sekolah.

Dalam kesempatan itu Pak Teguh menyampaikan tujuan utama beliau dalam proses menulis yang dijalani teman-teman guru SDIH 02. Seketika saya langsung menduga: perbaikan praktik pembelajaran. Ternyata dugaan saya salah.

Pak Teguh hendak mengembangkan dua sikap teman-teman. Bagi Pak Teguh, manfaat lain di luar dua sikap ini hanyalah bonus belaka bagi teman-teman. Bukan hal yang utama. Adapun hal utamanya justru dua sikap: legawa dan sabar.

Ups, tiba-tiba saya ingat kejadian Selasa (18/03/2025) pekan itu.

Pagi hari pukul 05.18 saya kirim pesan ke Pak Aruf. Sebanyak dua pesan saya kirim pada jam tersebut. Berikut dua pesan yang saya maksud.

“Hari ini (18/3) insyaallah ngaji di ruang KS kita khatamkan.

Ngaji, 18 Maret 2025

Pak Kambali:

Pak Adhit:

Pak Kukuh:

Bu Wiwik:

Bu Yunita:

Bu Indah:

Bu Shoffa:

Bu Layla:

Bu Ambar:

Bu Nika:

Pak Aruf:

Bu Puput:

Bu Eva:

  • murid kelas 3 (yang dipandang mampu) membaca juz 30. Pembagiannya diatur oleh Bu Shoffa. 1 murid boleh lebih dari 1 surah. Jika dipandang perlu, Bu Shoffa juga boleh melibatkan kelas 2 (Icha, Aza, atau lainnya yang dipandang mampu)
  • semua murid (kelas 1, 2, 3) diajak khataman. Pengaturan duduk murid oleh Bu Shoffa, Bu Yun, Bu Eva (setelah beliau bertiga merampungkan jatah bacaan)
  • Bila di dalam ruang KS tidak mencukupi, diluberkan hingga depan ruangan. Pintu dibuka.
  • khataman diupayakan maksimal hingga pukul 08.25
  • usai khataman, lanjut doa apel pagi. Lalu KBM sesuai jadwal (fleksibel, menyesuaikan kondisi)”

“Coba Pak Aruf lengkapi (pesan di atas). Lalu bagikan di grup.”

Pak Aruf membaca pesan tersebut saat hendak berangkat dari rumah menuju Sekolah. Begitu membacanya, Pak Aruf bermaksud menyusun pembagian bacaan dan lalu mengirimnya di grup. Sebagaimana yang saya minta. Namun, membagi bacaan bukanlah asal membagi. Itu butuh berbagai pertimbangan dan pemikiran. Dan itu semua butuh waktu. Memang bisa jadi tidak sampai memakan waktu hingga berjam-jam. Masalahnya, jika dipaksakan menyusun pembagian terlebih dahulu, ada risiko keterlambatan Pak Aruf tiba di Sekolah.

Atas dasar itulah, Pak Aruf memutuskan berangkat terlebih dahulu. Setibanya di Sekolah, baru akan beliau laksanakan tugas dari saya.

Ya, saya menyadari: bagi Pak Aruf itu tentu tugas mendadak. Pukul 05.18 saya beri tahukan, pukul 07.30 pagi itu juga harus terlaksana. Alhamdulillah, faktanya pukul 07.27 Pak Aruf bisa menyelesaikan tugas yang saya berikan. Sehingga khataman bisa dimulai tepat pukul 07.30.

Sebetulnya, saya sudah merencanakan sejak satu hari sebelumnya. Hanya saja saya yang terlupa. Lupa untuk segera memberitahu Pak Aruf. Apa boleh buat, walau mendadak, tetap saya minta Pak Aruf menyiapkannya.

Seusai acara, Pak Aruf mengakui. Sempat terkejut dengan tugas itu. Terutama masalah waktunya yang sangat mepet dan mendadak. Namun, eloknya hingga acara berakhir, sedikit pun Pak Aruf tidak menampakkan keterkejutannya. Pak Aruf justru tampak biasa saja. Tenang dan mengalir menjalankan tugasnya.

Andai Pak Aruf menampakkannnya, bisa jadi itu akan memengaruhi saya. Bahkan memengaruhi pula guru-guru lainnya. Jika begitu, sangat mungkin pula akan memengaruhi kegiatan khataman pagi itu.

Bagi saya, apa yang dialami Pak Aruf dan pilihan sikap beliau, itulah contoh riil legawa dan sabar.

Alhamdulillah, saya sangat beruntung. Selasa (18/03) saya mendapati pengalaman nyata—amal—dari Pak Aruf, Sabtunya (22/03) saya memperoleh penguatan ilmunya dari Pak Teguh. Lengkap sudah. Tinggal kembali ke saya: bisakah memahami dan mempraktikkan pada diri saya sendiri? Wallāhu a’lam.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code