Pukul 10.45. Waktu pelajaran BAQ kelas 2 tiba. Anak-anak kelompok saya sudah bersiap-siap sejak 15 menit sebelumnya. Tepatnya di waktu istirahat. Mereka membawa peralatan mengaji. Kemudian ditaruh di musala. Setelah itu, mereka bermain sembari menunggu waktu pelajaran BAQ tiba. Ketika bel berbunyi, seketika mereka menuju ke musala.
Anak-anak telah selesai menghafal ayat demi ayat surah Al-Gāsyiyah. Evaluasi hafalan surah Al-Gāsyiyah harus segera dilakukan.
Hari pertama evaluasi hafalan surah Al-Gāsyiyah.
“Siapa yang sudah siap? Silakan!” ujar saya.
“Saya, Ustaz,” jawab Gibran dengan penuh percaya diri sembari mengangkat tangan.
Gibran melafazkan surah Al-Gāsyiyah. Di bagian awal surah, Gibran tampak sangat lancar. Tiba-tiba di bagian tengah, Gibran mulai tampak ragu-ragu. Menuju bagian akhir surah, ia makin ragu. Hebatnya, Gibran tetap bisa menyelesaikan hafalannya.
“Alhamdulillah,” ujar saya dan teman-temannya ketika Gibran selesai melafazkan.
Hingga akhirnya sampai pada hari keempat—hari terakhir evaluasi hafalan surah Al-Gāsyiyah. Masih tersisa dua anak yang belum dievaluasi hafalannya. Saya segera mengevaluasi dua anak ini. Alhamdulillah, dua anak ini bisa menuntaskannya.
Gibran, yang saat itu duduk di samping saya, tiba-tiba meminta izin, “Ustaz, saya boleh mengulangi lagi hafalan surah Al-Gāsyiyah, gak?”
“Oh, iya, boleh,” jawab saya.
Gibran melafazkan kembali surah Al-Gāsyiyah. Masyaallah. Tampak lancar sekali. Berbeda dengan yang pertama. Gibran benar-benar telah bersungguh-sungguh memperbaiki hafalannya.
Melihat aksi Gibran, saya takjub. Walaupun sudah dievaluasi dan berhasil melafazkan surah Al-Gāsyiyah sampai selesai, Gibran tidak berpuas diri. Ia masih ingin memperbaikinya lebih baik lagi. Hingga akhirnya berhasil. Itulah salah satu sifat penuntut ilmu: gemar memperbaiki.