Bel berbunyi. Penanda apel pagi akan segera dimulai.

Senin (13/01/2025) Bu Wiwik menukar jam pelajaran Matematika dengan jam pelajaran Seni Budaya. Matematika menjadi jam ke-9 dan 10, sedangkan Seni Budaya menjadi jam ke-5. Pada jam pelajaran Seni Budaya, Bu Wiwik menayangkan video tutorial membuat ayaman ikan. Saya turut menyaksikan video tutorial itu.

Kamis (16/01/2025) saatnya praktik. Bahan yang dibutuhkan adalah kertas origami. Alat-alatnya meliputi pensil, penggaris, gunting, dan lem kertas. Bu Wiwik menjelaskan secara detail cara membuat anyaman ikan. Pertama, pada kertas origami dibuat garis-garis lurus membujur sepanjang kertas. Sejajar dengan salah satu garis tepi kertas. Jarak antargaris, masing-masing 1 cm. Kedua, kertas dipotong pada garis-garis yang sudah dibuat. Hasilnya, bilah-bilah kertas menyerupai pita selebar 1 cm. “Pita-pita” kertas siap dianyam.

Sebelumnya, Bu Wiwik sudah menyiapkan lembaran-lembaran kertas origami warna-warni. Usai menjelaskan petunjuk teknis, Bu Wiwik menyilakan murid-murid mengambil bahan anyaman—kertas origami—di meja guru. Secara bergantian, murid-murid mengambil kertas sesuai jatah: empat lembar berbeda-beda warna. Setelah memperoleh bahan, mereka langsung bekerja. Mempraktikkan instruksi Bu Wiwik. Langkah demi langkah.

Saya mengamati. Menggemaskan sekali raut wajah serius mereka. Hampir semua murid terlihat kesulitan untuk membuat garis lurus, seperti penjelasan Bu Wiwik. Berulang kali mereka menghapus garis yang telah dibuat. Tak sedikit yang mengeluh. Bahkan, beberapa murid melapor jika kertas miliknya sampai robek karena garis yang dibuat dihapus berkali-kali. Lantas Bu Wiwik mengganti dengan kertas baru.

“Bu, susah, enggak bisa,” keluh beberapa murid.

“Bisa. Dicoba dulu, ya, Teman-Teman.”

“Sudah dicoba berkali-kali, Bu. Tetap enggak bisa.”

“Iya, Bu. Susah,” timpal sebagian murid.

“Bisa. Yuk, dicoba lagi.”

Berbeda dengan yang lainnya, Keenan dan Alisha diam-diam fokus dengan potongan kertas mereka. Mereka sudah mulai menempelkan potongan kertas itu.

“Teman-Teman, Keenan dan Alisha sudah hampir selesai, loh,” terang saya.

Hah, iya, Bu?” tanya beberapa anak, kaget.

“Iya. Maka dari itu, Teman-Teman cukup fokus dengan anyamannya dan tidak perlu banyak bicara.”

Benar adanya, Keenan dan Alisha mengumpulkan karya anyaman ikan paling awal. Setelah itu, disusul oleh Gibran.

Bel berbunyi. Selesai atau tidak, karya anyaman mereka harus dikumpulkan di meja Bu Wiwik. Banyak murid yang belum menuntaskan karya anyaman ikan. Ada yang sudah setengah jadi, ada yang baru menempelkan dua sampai empat potongan kertas, bahkan ada yang belum menyusun potongan kertas sama sekali.

“Bu, punya saya belum selesai,” lapor seorang murid.

“Enggak apa-apa, nanti bisa dicoba lagi di rumah, ya,” jawab saya menenangkan.

Masyaallah. Saya sangat senang melihat antusiasme murid-murid. Walaupun banyak dari mereka yang belum menuntaskan karyanya. Setidaknya, mereka sudah berusaha. Ini adalah bagian dari proses dan proses setiap orang berbeda-beda. Saya yakin, kelak mereka bisa menuntaskannya sendiri. Bukankah untuk menuju hasil terbaik membutuhkan proses yang panjang?

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code