Ikut atau tidak?
Jika ikut, apa yang saya dapatkan? Bertemu Menteri, suatu kebanggaan. Apalagi jika bisa bersalaman dengan beliau. Eits, tunggu dulu! Jangan-jangan itu terbaca sebagai mental ABS? Begitu remehnya. Kalau hanya saya, tak masalah saya dipandang remeh—memang demikianlah kenyataannya. Namun, bagaimana pun juga, saat ini saya identik dengan tugas yang saya emban: kepala sekolah. Jadi, saya tidak bisa egois begitu saja. Saya tetap harus mempertimbangkan tugas saya.
Kalau sudah begitu, saya cenderung untuk tidak ikut menyambut kehadiran Pak Menteri. Apalagi sudah sangat jelas, yang hendak dihadiri Pak Menteri itu SMPN 12 Semarang, bukan SD Islam Hidayatullah 02. Ya, memang jaraknya berdekatan, sih. Bahkan sangat dekat. Tak ada 50 meter. Pun menghadap jalan yang sama: Jalan Bina Remaja. Bila saya berdiri di depan SD Islam Hidayatullah 02, otomatis sekaligus bisa ikut mangayubagya kehadiran Pak Menteri di SMPN 12. Namun, tetap saja saya merasa tidak enak. Ditambah info di grup kepala SD se-Kecamatan Banyumaik. Dalam grup sudah sangat jelas. Yang diundang hanya satu orang. Yakni, ketua K3S—Kelompok Kerja Kepala Sekolah. Saya merasa akan makin ngribeti suasana bila ikut menyambut. Biarlah mereka yang ditugasi saja, yang menjalankan tugas itu.
Saya tambah mantap: tidak ikut menyambut Pak Menteri.
Senin (06/01/2025) pukul 11.17. Bu Peni, Kepala SD Islam Hidayatullah, menelepon saya. Bu Peni memberitahu, beliau sudah stand by di depan gedung SD 02—SD Islam Hidayatullah 02. Bersama Bu Peni juga ada Bu Iin, Kepala PAUD Islam Hidayatullah. Bahkan, juga ada pengurus Yayasan.
Saya sempat bingung, apa maksud pemberitahuan Bu Peni. Tak lama kemudian, Bu Peni menjelaskan dengan lebih lugas. Ya, Bu Peni mengajak saya untuk ikut menyambut Pak Menteri. Kini, saya sudah tidak bingung. Sudah sangat gamblang apa yang dikehendaki Bu Peni. Bingung sirna, tetapi muncul keraguan: akankah saya terima ajakan Bu Peni? Saya berpikir sesaat. Menimbang beberapa hal.
Mauquf. Deadlock. Buntu. Ah, ya sudahlah! Tak perlu dipikir. Langsung ke depan saja. Ya memang, saya masih ada tanggungan pekerjaaan yang belum terselesaikan. Namun, siapa tahu, menyenangkan orang lain menjadi wasilah terselesaikannya pekerjaan saya. Bukankah saya juga senang jika yang saya ajak mengikuti ajakan saya?
Saya tiba di depan gedung SD 02. Saya menghampiri Bu Peni dan Bu Iin. Alhamdulillah, ada yang saya kenal. Sembari menunggu, bisa ngobrol dan mengusir kejenuhan.
Tak lama berselang, Pak Edrus—pengurus Yayasan—dan Pak Eko (Direktur LPI Hidayatullah) tiba di dekat kami. Dan satu orang lagi, yang diapit Pak Edrus dan Pak Eko. Saya belum kenal. Ia memakai seragam dinas. Tapi saya tidak tahu itu seragam pegawai apa? Sebut saja Pak Fulan.
Ternyata di dekat kami juga ada Habib Hasan—Ketua Dewan Pembina Yayasan. Pak Fulan memulai percakapan dengan Habib Hasan. Percakapan terbuka. Orang di sekitar beliau berdua dengan mudah dapat mendengarnya. Bahkan, yang tidak sengaja bermaksud mendengarkan pun akan tetap mendengarnya. Saya termasuk yang mendengar percakapan itu.
Pak Fulan mengajukan permohonan kepada Habib Hasan. Pak Fulan ingin putrinya diterima bekerja di Yayasan milik Habib Hasan. Putri Pak Fulan lulusan S-1 Psikologi. Kebetulan formasi yang sesuai jurusan putri Pak Fulan tidak ada.
“Ya, kalau gak ada, sebagai admin juga gak pa-pa, Bib. Yang penting diterima dulu,” rayu Pak Fulan.
“Lo, jenengan kan yang ngajari saya! Iżā wussida al-amru ilā gairi ahlihi fantaẓir as-sā’ah,” tegas Habib Hasan.
Ups, saya terkesima demi mendengar hujah yang disampaikan Habib Hasan.
Saya pernah mendengar hadis itu. Saya merasa sangat tidak asing. Namun, saya akui itu sudah sangat lama. Dan saya sudah lama tidak mempelajarinya. Bahkan, seketika itu saya kelabakan untuk mengulanginya. Saya hanya paham maksudnya. Belum hafal matannya.
Maka, saat itu juga saya ambil gawai. Saya googling hadis itu. Ketemu. Saat itu juga saya hafalkan matannya. Berhasil. Namun, masih ada PR yang lebih berat: menjaga hafalan.
Eits, jangan lupa dengan yang satu ini: mempraktikkannya.
Kurang lebih arti hadis itu begini: bila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Hadis ini mengajarkan kepada kita, seseorang semestinya diberi tugas sesuai dengan kompetensinya (keahliannya).
Bila itu dijalankan, pastilah akan mempermudah semua pihak. Anak buahnya maupun pimpinannya.
Lo! saya kok baru ingat dengan pasal 3 aturan kepegawaian LPI Hidayatullah. Jelas sekali disebutkan:
“Pendayagunaan pengabdi diselenggarakan dengan prinsip keadilan. Keadilan yang dimaksud meliputi keseimbangan antara beban tugas dan kompetensi.”
Semoga Allah mudahkan terlaksananya aturan yang sangat sesuai dengan hadis Rasul di atas.
Masyaallah, ternyata saya mendapatkan hikmah yang luar biasa! Memang semula saya “terpaksa” ikut menyambut Pak Menteri. Namun, faktanya, saya justru mendapatkan ilmu yang yang sangat berharga. Terima kasih, Bu Peni, Habib Hasan, dan Pak Abdul Mu’ti. (A1)