Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,” ucap saya sebelum memulai tahfiz.

“Siapa yang tadi pagi sudah salat Subuh?” selidik saya dengan penuh harap.

Delapan anak angkat tangan. Tiga anak lainnya hanya diam, menyembunyikan tangan mereka. Mata-mata mungil itu menunduk, seolah ada rasa malu menyelimuti.

“Terima kasih, Teman-Teman yang sudah melaksanakan salat Subuh. Yang belum melaksanakan, terima kasih sudah jujur. Tapi, besok berusaha salat Subuh, ya. Supaya tiang agamanya semakin kuat.”

“Iya, biar gak runtuh,” sambung Kaisar dengan semangat.

Soal teori, saya yakin anak-anak kelas 1 pun sudah hafal. Yang berat itu bagian melaksanakan dan mengistikamahkannya. Tidak hanya menjadi tantangan anak-anak. Tapi untuk semua umat muslim.

Saya memandangi mereka satu per satu. Seperti ada yang terasa kurang pagi ini. Ah, benar saja.

 “Mbak Nirmala belum berangkat, ya?” tanya saya kepada anak-anak.

“Belum, Bu,” sahut Mutiara.

“Mungkin masih sakit,” batin saya.

Saya masih ingat, kemarin Nirmala memang tidak masuk karena sakit.

Sekitar pukul 07.11 sosok yang dicari muncul dari ambang pintu, Nirmala. Ia terlihat tergesa-gesa, tapi masih sempat tersenyum manis kepada saya. Lantas ia bergegas menuju kelas. Saya memberi kode agar ia langsung menyusul dan tidak perlu menata isi tas terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian, Bu Layla mengantar Nirmala ke tempat tahfiz kami. Saat itu juga saya langsung menangkap sesuatu yang berbeda. Matanya memerah. Air mata sudah mengalir di pipinya. Saya belum tahu apa yang membuatnya sebegitu sedih. Saya memutuskan untuk tidak bertanya apa pun, hanya melemparkan senyuman lalu memintanya duduk di samping saya.

Mutiara yang duduk di sampingnya segera mengelus pelan pahanya.

 “Udah, gak pa-pa,” katanya, mencoba menenangkan.

Tahfiz berlangsung selama 15 menit. Selanjutnya terjadwal olahraga.

Setelah senam di lobi, murid-murid ke lapangan dengan penuh semangat. Suara khas murid-murid terdengar riuh dari ruang kelas 1. Saya mengintip dari jendela kelas. Mereka tengah asyik bermain olahraga bergelantung.

Tak lama berselang, dua sampai tiga anak masuk kelas dengan napas terengah-engah.

“Bu, izin minum,” pinta Ano sambil mengusap keringat di dahinya.

“Iya, boleh,” sahut saya.

Dua anak putri masuk. Kirana dan Nirmala. Napas mereka juga terengah-engah dengan wajah memerah.

“Bu, tadi saya bisa, lo, Bu, gelantungan lama,” lapor Nirmala.

Keduanya pun izin minum.

Usai minum, Nirmala menghampiri saya untuk menyetorkan jurnal PPK.

Tiba-tiba saja dia bercerita.

“Bu, saya terlambat tadi. Soalnya nganter kakak dulu, macet.”

“Oh, … ya, Allah…. Lalu kenapa Nirmala menangis tadi?” selidik saya, menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

“Malu, Bu,” ucapnya lugas lalu tersenyum kembali.

Mendengar jawaban Nirmala saya jadi teringat slogan yang sering terpampang di sekolah-sekolah masa kecil saya. Kalimatnya begini “saya malu datang terlambat”. Ya, di sekolah saya dulu juga ada. Saat saya SD—SMA berkunjung ke sekolah lain, sering menemukan slogan serupa. Tapi di sekolah tempat saya mengajar tidak terpampang tulisan tersebut.

Namun, luar biasanya, tanpa pernah membaca slogan itu, Nirmala sudah memiliki rasa malu yang mendalam ketika datang terlambat. Masyaallah, saya juga jadi berpikir, benar sekali, ya, bahwa rasa malu, kan, sebagian dari iman. Sebagaimana disebutkan dalam hadis. Mestinya saya juga begitu. Saya harus berguru kepada Nirmala—termasuk terlambat soal mengirimkan tulisan ini.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code