Selasa (05/22/2024) mata pelajaran Matematika terjadwal pada jam pelajaran pertama. Saya ingin mengganti jam pelajaran Matematika dengan Bahasa Indonesia. Mengapa? Ya, saya punya tujuan lain.
Kemarin, murid kelas 2 SDIH dan SDIH 02 sudah mengikuti widyawisata ke Kampoeng Kopi Banaran. Hari ini, saya bertekad untuk meminta murid-murid menuliskan pengalaman yang mereka rasakan saat widyawisata. Tapi, ada satu keraguan saya. Apakah mereka bisa mengungkapkannya dalam sebuah tulisan? Sebagian besar murid mungkin bisa. Sebagian yang lain juga bisa bercerita. Akan tetapi sepertinya sulit untuk mengungkapkannya dalam sebuah tulisan. Tidak hanya murid-murid, saya pun terkadang begitu.
“Teman-Teman, jam pelajaran Matematika hari ini, Bu Yunita ganti dengan Bahasa Indonesia, ya,” tutur saya.
“Loh, kenapa, Bu?” tanya sebagian anak.
“Hari ini Bu Yunita akan meminta Teman-Teman semua untuk menceritakan pengalaman yang kalian rasakan saat di Kampoeng Kopi Banaran kemarin.”
“Oh, kaya di kelas 1 dulu, ya, Bu?”
“Betul sekali.”
“Bu, tapi saya tidak bisa menulis cerita,” keluh sebagian anak.
“Bisa, nanti kalau bingung, boleh tanya Bu Yunita.”
“Selain itu, tulisan Teman-Teman akan dibuat menjadi buku. Kelak buku ini akan menjadi kenangan Teman-Teman saat sudah dewasa.”
Satu per satu lembar kertas saya bagikan. Setelah semua murid mendapat bagian, saya lanjut berkeliling mengamati murid-murid.
Selang beberapa lama.
“Bu, tidak cukup,” keluh Rara.
“Rara mau menambah kertas?”
“Iya, Bu. Tidak cukup.”
Lantas saya berikan satu lembar kertas tambahan untuk Rara.
“Teman-Teman, Rara menambah kertas, loh,” pancing saya.
“Saya nanti juga mau menambah kertas, Bu,” sahut beberapa anak.
“Boleh, kertas yang sudah ada dipenuhi dulu, ya,” jawab saya.
Benar adanya. Tak berselang lama, Elora, Alisha, dan Shaqueena meminta kertas tambahan.
“Masyaallah, senang sekali melihat pemandangan ini. Mereka berlomba-lomba menceritakan semua pengalamannya dengan sebaik mungkin,” gumam saya dalam hati.
Lembar demi lembar, cerita-cerita mulai terkumpul. Tidak terasa, suasana kelas dipenuhi dengan semangat. Mereka saling berbagi pengalaman unik selama widyawisata itu.
Saya tersenyum lega. Meski sederhana, kegiatan ini menunjukkan bahwa anak-anak bisa menuangkan pengalaman mereka dengan caranya masing-masing. Saya salah telah meragukan mereka. Kalian hebat, Nak. Setiap cerita yang kalian tulis adalah bukti bahwa momen di Kampoeng Kopi Banaran akan selalu kalian kenang.
Baca juga: Keranjang Hijau