Hari pertama semester 2. Hari pertama masuk sekolah di tahun yang baru. Hari pertama juga menempati kelas baru di gedung baru. Selama sepekan ini, Pak Kambali meminta para guru dan staf TU untuk tiba di Sekolah paling lambat pukul 06.30. Kami ditugasi untuk memastikan anak-anak terpandu hingga sampai di kelas mereka masing-masing.
Bu Layla, Bu Ambar, dan Bu Nika berjaga di area tangga depan teras. Pak Adhit, Pak Aruf, dan Pak Kukuh bertugas di pintu lobi. Sementara para wali kelas menunggu kedatangan murid-murid di depan dan dalam kelas.
Adalah Azka. Anak yang hadir paling awal. Ia diantar ibundanya. Azka sempat kebingungan saat hendak menata isi tasnya. Tak ada meja dan kursi. Hanya ada beberapa tumpukan kursi berwarna merah, kuning, hijau, dan biru di sudut kelas.
Januari ini memang direncanakan kegiatan Collaborative Camp. Meja dan kursi sengaja dikeluarkan dari kelas. Rangkaian kegiatannya akan dimulai pada pekan kedua.
“Mas Azka, sandalnya dimasukkan ke rak sepatu, ya. Baju ganti dan krayon dikeluarkan dari tas, lalu dimasukkan ke dalam loker. Botol minum ditaruh di atas loker. Kalau bekalnya biar tetap di dalam tas. Tasnya dimasukkan ke loker,” instruksi saya.
Saya menjeda pada tiap-tiap instruksi. Memberi kesempatan kepada Azka untuk melaksanakan instruksi tersebut.
“Mas Azka, nanti kalau ada teman-teman yang datang, tolong dibantu menata barang-barang mereka, ya,” pinta saya.
Azka mengangguk.
Reva datang. Azka sigap memandu Reva. Reva juga saya tugasi untuk memandu teman-temannya yang datang setelahnya. Begitu seterusnya hingga saya tak perlu lagi mengomando anak-anak. Teman-teman merekalah yang menjadi pemandu. Sungguh meringankan tugas saya.
Bel berbunyi. Tahfiz pagi dilaksanakan. Dilanjutkan senam bersama. Diikuti oleh seluruh murid, guru, serta staf TU. Senam Anak Indonesia Hebat. Bukan karena fomo, hanya ingin mencoba saja. Sekaligus mengenalkan kepada anak-anak.
Setelah senam, Pak Kambali menyampaikan pesan-pesan kepada anak-anak. Beliau memulai dengan bercerita. Kisah yang beliau alami yang melibatkan kedua putrinya, Husna dan Sulha.
Husna sudah kelas 6. Sementara Sulha masih kelas 2 Selama lburan, keduanya mendapat tugas untuk mengisi jurnal kegiatan harian. Beberapa isiannya adalah ceklis pelaksanaan salat. Tak hanya salat wajib, salat sunah pun turut menjadi daftar isian.
“Anak-Anak, Husna melaksanakan salat Subuh jam 04.30. Sebelumnya, ia juga melaksanakan salat kabliah. Sementara Sulha, salat Subuhnya jam 8. Juga tak ketinggalan salat kabliah. Husna dan Sulha sama-sama mencentang kolom salat Subuh dan kabliah,” terang Pak Kambali.
“Setelah salat Subuh, Sulha melanjutkannya dengan salat Duha. Jadi, dalam satu waktu, Sulha melaksanakan salat kabliah, Subuh, dan Duha. Husna protes. Namun, Sulha tetap pada pendiriannya bahwa ia benar,” lanjut Pak Kambali.
“Menurut Anak-Anak, siapakah yang benar, Sulha atau Husna?”
“Sulha!” seloroh Langit.
Pak Kambali tersenyum. Beliau sudah hafal akan keisengan muridnya yang satu ini.
“Jika Anak-Anak diminta memilih, kalian ingin menjadi seperti siapa?”
“Husna!” seru anak-anak.
“Alhamdulillah. Begitu pula yang akan Anak-Anak alami dan rasakan. Mungkin suatu saat kalian akan melihat ada anak yang jajan di luar sana (Pak Kambali menunjuk ke arah pintu masuk lobi), tapi makan atau minumnya sambil jalan atau berdiri.”
Pak Kambali melanjutkan arahannya. Beliau menggiring anak-anak menyimpulkan apa yang sebaiknya mereka lakukan tatkala dihadapkan pada situasi nyata yang tidak sesuai dengan adab yang telah diajarkan.
Tak dapat dimungkiri. Anak-anak akan selalu menghadapi tantangan. Dalam interaksi keseharian, mereka bisa saja menemukan keteladanan atau ketidakpatutan. Saat menemukan keteladanan, bisakah mereka menerapkannya pada diri sendiri? Sebaliknya, dalam menghadapi ketidakpatutan, mampukah mereka memfilter diri?
Itulah salah satu peran sekolah. Menjadi miniatur dunia yang penuh warna. Adalah tugas sekolah untuk mengupayakan murid-muridnya menjadi pribadi yang rapuh sekaligus tangguh. Rapuh tersusupi keteladanan. Tangguh melawan ketidakpatutan. (A2)