Rabu, 25 Desember 2024, masih di suasana libur akhir semester. Bu Layla membuka aplikasi pesan WhatsApp sekadar memastikan ada pesan atau tidak. Sesekali Bu Layla stalking untuk melihat status pada kontak yang dimiliki Bu Layla. Selang beberapa detik, Bu Layla mendapati status WhatsApp Bu Asih, Mama Itaf. Sebuah foto yang disertai tulisan kurang lebih “mengantar mas Itaf ke pesantren”. Betapa tidak? Sekian pertanyaan terkumpul dalam benak Bu Layla yang sesegera mungkin ingin dilontarkan.
“Masyaallah, saya turut berbahagia dan mendoakan Mas Itaf agar selalu dimudahkan oleh Allah Swt. dan istikamah dalam belajar, Mas Itaf belajar di pesantren mana, Ma?” doa sekaligus tanya Bu Layla melalui pesan WhatsApp kepada Mama Itaf.
“Amin, ya Allah. Terima kasih, Ustazah Layla atas doanya. Mas Itaf belajar di pesantren Sulaimaniyah, Us,” jawab Mama Itaf.
“Alhamdulillah. Senang saya mendengarnya. Mohon izin titip salam alam untuk Mas Itaf, ya, Ma. Ustazah senang dan mendoakan agar Mas Itaf mendapatkan banyak kemanfaatan,” pinta Bu Layla.
“Insyaallah, Ustazah. Salam Ustazah saya sampaikan ke Mas Itaf,” jawab Mama Itaf.
Lega rasanya, Bu Layla mengetahui ada siswa yang saat liburan sekolah tetap menyempatkan diri untuk tetap belajar. Tidak hanya Itaf, sebagian siswa lain juga demikian. Tentu dengan porsi waktunya masing-masing. Siapa sangka? Itaf, atas dorongan dan doa orang tuanya, terketuk hatinya untuk berani mencoba menjadi santri yang bermukim di pesantren. Berani mencoba melepaskan diri dari ”zona nyaman” saat lainnya menikmati hari liburnya dengan bermacam-macam cara. Itaf tak kuasa menahan lapar dan hausnya akan ilmu. Sebagaimana nasihat Imam Syafi’i, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”
Terima kasih, Mas Itaf, Mama, dan Papa Mas Itaf. Semoga kelaparan dan kehausan itu akan berlanjut. Terus merasa untuk tidak kuasa menahan. Teruslah merasa tidak kuasa untuk tidak istikamah dalam kebaikan.