“Kira-kira anak-anak bisa tidak, ya?” gumam kami.
Memang prosesnya agak rumit bagi sebagian orang yang belum pernah membuat buket. Mengingat juga ada bagian-bagian yang butuh kreasi dan konsentrasi tinggi.
Kami bersepakat untuk membuatkan satu paket alat dan bahannya untuk per anak. Jadi anak-anak tinggal merangkai saja. Judulnya berganti menjadi ‘merangkai buket’ bukan ‘membuat buket’.
Sabtu itu kami disibukkan dengan persiapan untuk Hari Ibu 22 Desember 2024. Supaya Senin langsung eksekusi saja.
“Bismillah, anak-anak pasti bisa!” batin saya percaya diri.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Murid-murid belum mengetahui agenda hari itu. Berhubung PAT sudah berakhir, kegiatan Sekolah diisi dengan class meeting dan membuat hadiah kecil untuk ibu selama dua hari, Senin dan Selasa. Senin membuat buket, Selasa menulis surat.
Sayangnya, pagi itu Bu Wiwik memberi kabar kalau beliau belum memungkinkan berangkat ke sekolah. Tetapi saya tetap berusaha optimistis. Alhamdulillah ternyata Pak Kukuh dan Pak Adhie turut serta membersamai kami.
Sebelum kami praktik, sedikit saya menjelaskan tentang seorang ibu dan maksud dari kegiatan ini kepada anak-anak. Tampak binar dan semangat dari wajah mereka. Otomatis semangat saya menjadi bertambah.
“Bu Eva yakin anak-anak bisa. Tidak boleh bilang ‘tidak bisa’ sebelum mencoba. Karena ucapan itu doa. Jadi anak-anak berucap yang baik, ‘saya bisa!’, insyaallah nanti dimudahkan Allah,” tutur saya.
“Iya, Bu, kan gak boleh bilang ‘gak bisa’ dulu. Harus dicoba dulu,” sahut Kaisar.
“Betul, Mas Kai. Paham, ya, Teman-Teman?”
“Paham, Bu,” jawab mereka serempak.
Setelah semua anak mendapat satu paket alat dan bahan untuk merangkai buket, saya mengajari anak-anak langkah demi langkah. Tentu tidak mudah bagi mereka. Tetapi mereka mau berusaha dengan gigih.
“Bu, gini, ya, Bu?” lapor Nadhif sembari menunjukkan buketnya.
Nadhif anak pertama yang berhasil menempel kertas cellophane di satu sisi.
Hal tersebut memantik usaha anak yang lain. Benar saja, banyak anak yang menyusul Nadhif.
Namun, karena keterbatasan selotip, mereka harus mengantre. Hanya ada dua dispenser selotip di kelas.
Awalnya saya keliling mendatangi satu per satu untuk saya beri selotip. Namun, cara tersebut saya pandang kurang efektif. Akhirnya saya memutuskan supaya mereka yang maju. Satu selotip saya bawa, yang satunya dibawa Pak Kukuh.
“Teman-Teman, yang sudah berhasil menempel kertasnya, antre mengambil solasi, ya, di Bu Eva atau Pak Kukuh.”
Setelah diberi contoh, sebagian besar anak sudah bisa melipat dan menempel kertas di batang buket. Paling-paling mereka butuh diyakinkan kalau cara menyusunnya sudah benar.
“Ini mau saya kasih ke Mama. Pasti mamaku bangga,” celetuk Asha.
Saya hanya tersenyum berusaha menahan tawa mendengar celetukan Asha. Ternyata Aqilaa yang mendengar hal tersebut juga turut tertawa kecil.
Langkah terakhir adalah mengikat pita untuk mempercantik buket. Ternyata belum semua anak bisa mengikat. Ada yang minta tolong bapak/ibu guru, juga temannya.
Mutiara sedang mengantre di depan saya untuk diikatkan pitanya. Tetapi tanpa diminta, Hana dengan suka rela mengikatkan pita di buketnya Mutiara.
Selesai membuat buket, Kaisar, Alzam, dan Radit menjumputi kotoran di karpet.
Terima kasih, anak-anak hebat. Proses dan hasil kalian luar biasa.
Bahagia sekaligus haru. Bermodalkan semangat dan ketulusan, mereka berhasil membuat bingkisan kecil untuk bundanya. Selain bingkisan kecil, mereka juga diminta untuk menyenangkan hati bundanya. Baca juga http://sdislamhidayatullah02.sch.id/2024/12/31/dedikasi/
Tentu ini belum apa-apa dibanding dengan besarnya ketulusan seorang ibu mencintai, mengasihi, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Semoga langkah kecil ini menghantarkan anak-anak menuju birrul-walidain.