Saya lupa. Terus, mau bagaimana?

Kalau mengikuti kebiasaan, berarti saya harus mencari akar masalahnya. Ya, setidak-tidaknya terdeteksi pemicu masalahnya. Di titik itulah yang sangat krusial. Saya kategorikan dua kemungkinan: apa masalahnya atau siapa masalahnya. Jika hanya menyangkut apa, itu relatif lebih mudah. Namun, bila termasuk melibatkan siapa, itu jauh lebih sulit dan butuh kehati-hatian yang sangat tinggi.

Saya coba merunutnya. Berharap, menemukan titik masalahnya.

Jadwal “Refleksi Pengabdi” sudah dibagikan oleh Bu Nika. Di grup Sekolah. Artinya, semua anggota dapat melihatnya. Alhamdulillah, seluruh guru dan staf TU sudah menjadi anggota grup. Dalam jadwal sudah tertera sangat jelas urutan petugasnya. Pun di bagian bawah urutan itu telah dilengkapi dengan keterangan. Kalimat dalam keterangan tersebut sudah sangat bisa dipahami. Setidaknya, menurut ukuran saya.

Jadwal itu dikirim Bu Nika pada tanggal 22 November 2024.

Sabtu (14/12/2024) itu Pak Adhit yang bertugas melakukan refleksi. Dan saya baru ingat dan sadar akan hal itu di Sabtu pagi. Sekitar pukul 06.30. Artinya, saya belum sempat memberi tahu Pak Adhit. Padahal acaranya terjadwal pukul 07.00. Saya lupa. Apa yang mesti saya lakukan?

Tunggu!

Bukankah jadwalnya telah dibagikan tiga pekan sebelumnya? Jika demikian, bukankah berarti Pak Adhit sudah tahu? Ya, memang benar bahwa jadwal telah disampaikan pada 22 November 2024. Masalahnya, sebelum itu saya hampir selalu mengingatkan petugas di hari sebelumnya. Jadi, seolah-olah saya tampak membangun suasana “bila bertugas, menunggu diberi tahu sehari sebelumnya.”

Pak Adhit (depan paling kanan) saat Pelatihan “Optimalisasi Sumber Daya dan Budaya Positif Sekolah”

Saya ragu. Tetap jalan atau saya batalkan? Bila tetap jalan, saya khawatir “membebani” Pak Adhit. Sebaliknya, jika saya batalkan, saya khawatir Pak Adhit sudah mencermati jadwal dan sudah menyiapkannya.

Jadi, variabel Pak Adhit paling menentukan. Kalau begitu, tak ada pilihan lain: komunikasikan dengan Pak Adhit. Namun, saya sadar saya terlambat menyampaikan. Apakah saya tidak malu melakukannya? Ini sudah terjadi. Sudah telanjur. Satu-satuya cara, mengakui dan memohon maaf. Apa jeleknya mengakui kesalahan? Tidak ada. Apa buruknya memohon maaf? Setelah itu, baru membicarakan tindak lanjutnya.

Lagi pula jadwal sudah dibagikan jauh hari sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan, Pak Adhit sudah mengetahui dan menyiapkannya. Merujuk ini, saya semakin percaya diri untuk segera mengomunikasikan dengan Pak Adhit.

Tak berselang lama, Pak Adhit hadir. Pak Adhit satu ruangan dengan saya.

“Pak Adhit, saya mohon maaf sebelumnya. Saya lupa belum bilang ke Pak Adhit. Hari ini, Pak Adhit bertugas ‘Refleksi Pengabdi’. Apakah Pak Adhit berkenan?”

“Baik, Pak Kambali. Insyaallah siap, Pak Kambali.”

Alhamdulillah. Lega rasanya. Saya merasa dimudahkan dalam berkomunikasi dengan Pak Adhit. Apalagi mendengar jawabannya. Makin tambah lega rasanya.

Tak hanya itu, saat pelaksanaan, Pak Adhit melakukan refleksi dengan sangat baik. Saya sangat terkesan dengan isinya. Tentang diri Pak Adhit sendiri. Dalam menjalani “tugas” menulis. Dari semula gagal menjalankan tugas karena kurang percaya diri, hingga Pak Adhit berhasil memulai menjalankannya. Itu berproses. Memakan waktu yang tidak sebentar. Berbulan-bulan. Itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dan Pak Adhit mampu melaluinya.

Memang Pak Adhit belum semahir guru lain yang sudah lebih awal memulai—Bu Wiwik, misalnya. Itu wajar. Terkait jam terbang. Namun, saya justru sangat bombong dengan ini: kepercayaan diri Pak Adhit mulai tumbuh. Alhamdulillah, kini Pak Adhit terus berproses menulis.

Sabtu itu saya mendapat pelajaran banyak. Terima kasih, Pak Adhit. (A1)

Baca juga: Duo Bandel yang Tidak (Boleh) Bandel

Bagikan:
Scan the code