Pukul 06.55 bel masuk berbunyi. Murid-murid sudah siap berbaris di selasar.

Saya melangkahkan kaki menuju pintu kelas. Sejenak, langkah saya terhenti oleh Haqqi. Ia baru tiba di kelas. Haqqi menyodorkan uang 5 ribu untuk dititipkan kepada saya.

“Bu, nitip, ya. Tadi Mama kasih uang 15 ribu,” lapornya.

“Kenapa dititipkan ke Bu Guru?” selidik saya.

“Katanya kemarin maksimal bawa uang 10 ribu?” tanyanya balik.

Masyaallah. Ternyata Haqqi mempraktikkan amanat dari gurunya. Saya pun tersenyum dan berujar, “Terima kasih, Haqqi!”

“Sama-sama, Bu,” balasnya.

Haqqi segera berbaris mengikuti teman-temannya. Saya mengekor di belakangnya.

Rabu (30/11/2024) pertama kalinya Sekolah mengadakan kegiatan jual beli dengan penyedia jajan orang tua murid kelas 1—3. Harga jajanan bervariasi, mulai dari Rp2.000,00; Rp2.500,00, dan Rp3.000,00. Kegiatan tersebut diberi tajuk ‘Entrepreneur Cilik’.

Baca juga: Entrepreneur Cilik.

Pekan ini enam murid ditunjuk sebagai penjual: Ridho, Daffa, Iqbal, Cemara, Kalynn, dan Najwa. Ridho, Daffa, dan Iqbal ditugasi menjadi penjual di depan kelas 3. Cemara, Kalynn, dan Najwa ditugasi menjadi penjual di depan kelas 1. Mereka bertugas selayaknya penjual: melayani pembeli, memberikan uang kembalian, menghitung jumlah uang yang diperoleh, serta menghitung keuntungan yang didapat.

“Mas, ini berapa?” tanya seorang murid kepada Daffa. Ia memegang jajanan seharga Rp3.000,00 dan Rp2.500,00.

“5 ribu 5 ratus,” jawab Daffa.

“Ini, Mas,” kata si pembeli sembari menyodorkan uang Rp10.000,00.

Daffa menghitung uang kembalian lalu menyodorkan uang selembar dua ribuan, selembar seribuan, dan sekeping lima ratusan kepada si pembeli.

Mengetahui hal itu, saya berkomentar, “Coba hitung lagi, Daf!”

Daffa menghitung lagi uang kembalian.

“Eh, iya. He-he. Ternyata kurang. Nih, kembaliannya,” ucap Daffa sembari menyodorkan uang dua lembar dua ribuan dan sekeping lima ratusan kepada si pembeli.

“Lebih fokus lagi, ya, Daf,” pesan saya.

“He-he. Iya, Bu,” jawabnya.

Antrean masih berlanjut. Mereka membuat dua baris berbanjar.

“Uangku tinggal seribu, nih. Boleh enggak beli ini?” bujuk seorang anak kepada penjual.

“Ini harganya 2 ribu,” jawab Ridho.

“Diskon lah,” bujuk seorang anak.

“Tak boleh!” ujar para penjual kompak.

Murid tersebut berbalik. Ia tidak jadi membeli jajanan karena uangnya tinggal seribu.

Beberapa saat kemudian.

“Daf, saya sudah beli, nih,” tunjuk Deva ke arah jajan keju aroma yang dipegangnya.

“Makan dulu. Sisain satu buatku, ya,” balas Daffa.

Oke, Daf,” jawab Deva.

“Kenapa, Daf?” tanya saya penasaran.

“Saya beli patungan sama Deva, Bu.”

Masyaallah. Tak disangka, di tengah keterbatasan uang yang tersisa—sama-sama tinggal seribu—dan sama-sama masih ingin jajan, Daffa berinisiatif mengajak Deva untuk patungan membeli keju aroma. Deva mengiakan. Tanpa disadari, mereka berdua telah menerapkan perilaku jujur, gotong royong, dan ikhlas. Terima kasih, Daffa dan Deva! Kalian telah menunjukkan bahwa setiap masalah ada solusinya.

Bagikan:
Scan the code