“Saya dulu takut sama Pak Kambali. Itu waktu di MTs,” keluh Sun’an.

“Kenapa?” tanya saya.

“Pak Kambali waktu di MTs dikenal galak. Semua murid takut. Bahkan, teman-teman yang paling preman dan bandel pun tidak berani.”

“O, ya? Segitunya-kah?”

“Ya, Pak. Beda dengan Pak … [menyebut nama lain] yang sering diremehkan teman-teman. Dan waktu saya awal mondok, saya nggak nyaman karena bertemu Pak Kambali lagi. Ehhh, ternyata …. Di Pondok Pak Kambali berbeda 360 derajat [maksudnya: 180 derajat]. Sangat ramah. Tidak galak sama sekali.”

Saya dan Sun’an sama-sama tertawa. Teman-teman alumni yang mendengar cerita Sun’an ikut tertawa lepas. Mereka tahu siapa saya, yang diceritakan Sun’an.

Saat MTs, Sun’an belum mondok. Sun’an pernah saya ajar Matematika ketika kelas 8 MTs. Tapi tidak lama. Hanya 9 bulan. Setelah itu pengajar Matematika berganti. Maka, Sun’an ketakutan dengan saya hanya saat kelas 8. Kelas 9, Sun’an sudah tidak lagi bertemu saya. Ia mondok saat MA. Saat itulah ia bertemu lagi dengan saya. Tidak di MA. Tapi di Pondok.

            Kini, saya dan Sun’an sama-sama sudah alumni Pondok. Kami bertemu Ahad (19/11/2023) malam. Pada acara pernikahan Mbak Elok—adik kandung guru kami. Di pertemuan itulah Sun’an bercerita langsung kepada saya. Sebelumnya, saya sudah mendengar cerita itu dari orang lain. Tak disangka, malam itu saya bisa mendengar langsung dari sumbernya.

Memang benar apa yang dikatakan Sun’an. Saya pernah dikenal sebagai guru galak. Bukan hanya sekadar dikenal, melainkan saya sendiri merasa suka marah. Setelah sekian waktu, saya mengalami perubahan. Bertahap. Pelan dan terus-menerus. Hingga kemudian saya dikenal sebagai guru yang ramah. Tepatnya: tidak galak.

Baca juga: Pikiran Negatif

Perubahan itu saya pandang sebagai proses. Dulu, begitu ada fakta yang tidak sesuai dengan harapan, saya melakukan upaya agar sesuai dengan harapan. Caranya: menuntut orang lain. Tak peduli orang lain itu tidak nyaman dengan tuntutan. Saya juga tidak memedulikan perasaan orang lain. Sering kali itu saya lakukan dalam keadaan saya sedang marah, belum terima atas fakta yang tidak sesuai dengan harapan. Asal sesuai dengan tugas dan kewajiban, saya pasti melakukannya. Itu tidak hanya saya lakukan kepada murid, tetapi juga teman sejawat.

Seiring berjalannya waktu, saya terus mendapat kesempatan belajar. Tidak hanya praktik mengajar murid secara langsung, tetapi juga belajar teori. Dengan belajar terus-menerus tersebut, terjadi perubahan paradigma dalam pola pikir saya. Cara pandang saya berubah. Cara saya menyikapi orang lain (teman sejawat maupun murid) juga berubah.  Dan setiap perubahan tersebut, sering kali dikuatkan dengan tuntunan agama yang bersesuaian dengan fakta yang saya alami.

Sabtu (25/11/2023) diperingati sebagai Hari Guru. Pagi hari itu di forum dewan guru, saya bicara panjang lebar tentang salah satu hal yang sepatutnya dimiliki guru.  Saya ceritakan kisah Rasulullah saat di Thoif. Walau ditolak, diusir, dicaci, dilempari oleh warga Thoif, Rasulullah tetap bertahan. Bahkan beliau sedikit pun tidak tebersit hendak membalas warga Thoif. Saya juga ceritakan kisah, saat ada orang yang kencing di masjid. Para sabahat hendak menghajar orang yang kencing tersebut, tetapi dilarang oleh Rasulullah. Dua kisah itu menekankan sifat sabar Rasulullah dalam menghadapi umatnya (baca: muridnya). Namun, saya juga menceritakan kisah Ka’ab bin Zuhair bin Abu Salma. Rasulullah juga pernah marah kepada Ka’ab. Artinya, selain dikenal ramah, Rasulullah juga marah dalam situasi tertentu yang dipandang pas untuk marah. Tujuan utamanya tetap sama: membimbing umatnya menjadi baik.

Pagi itu saya menyampaikan kepada teman-teman guru bahwa Rasulullah adalah model guru terbaik yang sudah sepatutnya ditiru oleh setiap guru. Apalagi guru di sekolah berlabel Islam.

Baca juga: Guru-Guru yang Asyik

Rasulullah pernah menyampaikan, “Aku diutus sebagai guru.” Apa kunci sukses Rasulullah sebagai guru? Setidaknya ada empat sifat: jujur, cerdas, penyampai, dan amanah. Semoga saya dan teman-teman guru SD Islam Hidayatullah 02 dimudahkan dalam meneladani Rasulullah. (A1)

Baca juga: Guru Tan Kena Lena

Bagikan:
Scan the code