“Alhamdulillah,” batin saya.

Saya lihat jam dinding. Pukul 08.20. Tiba-tiba saya ingat: pukul 08.30 saya punya janji. Bertemu anak-anak kelas 3. Berarti masih ada waktu 10 menit. Saya harus manfaatkan seefektif mungkin.

Saya sudah telanjur pegang mikrofon. Bahkan, sudah memulai pembicaraan. Rasanya tak mungkin saya batalkan pembicaraan saya. Paling realistis dan elegan, saya ringkas dan saya percepat pembicaraan.

Saya menyadari sepenuhnya, bila berbicara di depan teman-teman pengabdi, saya sering bicara panjang. Untuk mengatakan hal sederhana, sering kali saya awali dari latar belakang atau rasional yang mendasarinya. Bahkan, dalam beberapa hal, saya lengkapi dengan contoh, baik contoh yang sesuai maupun contoh yang tidak sesuai.

Dulu, kalau berbicara di depan, saya justru lebih suka pendek dan singkat. Itu saya lakukan, semata-mata untuk menghargai waktu teman-teman. Saya ingin tidak bertele-tele, maksud tertangkap oleh teman-teman dan waktu yang ada tidak sia-sia hanya untuk mendengar ceramah saya. Eh, ternyata. Di luar dugaan saya, maksud pembicaraan saya tidak tertangkap secara utuh. Muncullah prasangka negatif. Prasangka itu diutarakan kepada teman lain, muncullah suasana saling curiga.

Lama-kelamaan suasana itu sampai ke saya. Saya cari penyebabnya. Ternyata, salah satunya, karena pembicaraan saya terlalu pendek dan singkat. Latar belakangnya tidak saya sampaikan. Hal yang mendasarinya tidak saya tunjukkan. Belajar dari kenyataan itu, di kesempatan berikutnya, kalau bicara saya lengkapi dengan dasar dan latar belakang. Dampaknya: durasi bicara saya bertambah.

Selain pasangka negatif, terkadang juga muncul kekeliruan pemahaman. Maka, saya pun memandang perlu memberi contoh riil yang sesuai dengan apa yang saya bicarakan. Atau terkadang sebaliknya, yang dibutuhkan justru contoh yang tidak sesuai. Akibatnya, durasi bicara saya makin tambah lama. Dan kini, rasanya itu sudah jadi kebiasaan saya. Sebagian teman sudah hafal, jika saya bicara, sulit untuk berhenti.

Sabtu (21/09/2024) pagi itu, saya sudah berkomitmen, biar Bu Peni—Kepala SD Islam Hidayatullah, selanjutnya ditulis SD 01—saja yang bicara. Saya cukup mendampingi beliau di depan. Ya, pagi itu pengabdi SD 01 dan SD 02—SD Islam Hidayatullah 02—berkumpul di musala SD 01. Mengakhiri kegiatan Festival Anak Saleh. Semacam tasyakuran. Ups, di akhir pembicaraan, Bu Peni memberi saya kesempatan bicara. Anehnya, kesempatan itu saya ambil. Sudah lama saya tidak bicara dengan teman-teman SD 01. Saya merasa ini kesempatan yang tak boleh saya lewatkan. Maka, mikrofon saya terima dan saya mulai bicara.

Beruntung sekali, di awal pembicaraan saya ingat, punya janji dengan murid saya. Maka, saya putuskan untuk bicara pendek dan singkat.

“Bapak Ibu, kita sudah mengadakan kegiatan Festival Anak Saleh. Ini sekadar pengingat untuk saya dan kita semua. Sebagai guru, kita punya tugas untuk menjadikan murid kita sebagai anak saleh. Lalu, bagi Bapak Ibu yang sudah dikaruniai anak, juga punya kewajiban untuk mengupayakannya menjadi anak saleh. Dan yang tidak kalah penting, kita itu pasti punya bapak dan ibu. Artinya, kita itu juga anak. Maka, kita pun sudah semestinya berusaha untuk menjadi anak yang saleh. Demikian, terima kasih. Saya kembalikan ke Bu Peni.”

Mikrofon saya serahkan kembali kepada Bu Peni. Dan yang mengejutkan saya, bersamaan mikrofon saya kembalikan, tepuk tangan teman-teman bergemuruh. Saya tidak tahu karena apa tepuk tangan itu. Bisa jadi karena saya bicara pendek dan singkat. Bisa pula karena teman-teman sangat sepakat dengan isi pembicaraan saya. Atau bisa pula karena sebab lainnya. Apa pun itu, saya sangat bersyukur: saya berhasil bicara pendek dan singkat. Itu sangat mendukung saya agar tidak terlambat bertemu anak-anak kelas 3.

Baca juga: Buku Karya Siswa

Setelah acara di musala SD 01 berakhir, dilanjutkan makan bakso yang sudah tersedia di halaman SD 01. Saya sengaja tidak mengambil bakso. Saya pilih bersegera kembali ke SD 02. Saya pun mempercepat langkah. Saya ingin tidak terlambat. Dan tiba di depan pintu ruang kelas, saya lihat jam di HP: 08.27. Alhamdulillah, tidak terlambat.

“Naren, Kalynn, Cemara, yuk, kita masuk. Segera kita mulai,” ajak saya.

Saya masuk ruang kelas 3. Saya dapati 5 anak di dalam kelas. Jadi, ada 8 anak yang sudah hadir. Alhamdulillah. Setelah mengajak anak-anak untuk merapikan tas, saya memulai pertemuan itu.

Di akhir pertemuan, ternyata jumlah anaknya ada 11. Kok bisa? Bertambah 3? Ya, ada tambahan 3 anak. Ketiganya datang terlambat—setelah pukul 08.30.

Untung saya tidak memperpanjang pembicaraan di musala SD 01. Andai saat itu saya bicara lebih lama, kemungkinan besar saya terlambat masuk ruang kelas 3. Dan jika demikian, berarti saya gagal memberi contoh baik kepada anak-anak.

Alhamdulillah, setidaknya saya telah berusaha memberi contoh baik kepada anak-anak: tidak terlambat. Semoga Allah mudahkan anak-anak untuk meniru kebaikan di sekitar mereka. (A1)

Baca juga: Pengaruh Guru

Bagikan:
Scan the code