Dugaan saya salah. Meleset jauh. Saya kira beliau sebagaimana umumnya yang lain. Ternyata tidak demikian.
Sejak pukul 07.30 Pak Mefi melakukan supervisi pembelajaran Al-Qur’an. Di sejumlah kelas. Hingga pukul 09.15. Ups, sebetulnya masih ada lagi. Namun, berjeda waktu cukup panjang. Masih 90 menit lagi. Pukul 10.45.
Pak Mefi itu supervisor eksternal. Utusan dari Ummi Foundation. Beliau Koordinator Ummi Daerah Majalengka. Sebetulnya Pak Mefi berasal dari Pati, tetapi menikah dengan orang Majalengka kemudian menetap di Majalengka.
Pada jeda waktu dari pukul 09.15 hingga pukul 10.45 beliau diantar ke ruang saya. Di ruang inilah transit beliau. Di depan ruang saya tertempel label Ruang Kepala Sekolah. Umumnya ruangan seperti itu dihuni oleh satu orang kepala sekolah. Namun, ruangan saya ini dihuni oleh empat orang: saya dan tiga guru lain. Pak Aruf, Pak Adhit, dan Pak Kukuh. Guru yang disupervisi Pak Mevi di antaranya adalah Pak Aruf dan Pak Adhit.
Begitu Pak Mefi masuk transit, empat orang menyusul di belakang beliau. Pak Ikhsan (utusan QLC Hidayatullah), Bu Layla (Koordinator BAQ SD IH 02), Pak Aruf, dan Pak Adhit. Saya mempersilakan Pak Mefi untuk istirahat senyaman mungkin. Saya menduga beliau butuh istirahat. Kalau toh saya hendak mengajak bicara beliau sebagai bentuk memuliakan tamu, saya harus membatasi diri bicara hal-hal ringan. Tak perlu menanya hasil supervisi. Toh siangnya (pukul 13.00) telah dijadwalkan untuk umpan balik hasil supervisi.
Di luar dugaan saya, justru Pak Mefi yang memulai membicarakan hasil supervisi.
“Mumpung kumpul semua, saya sampaikan catatan saya, ya,” tegas Pak Mefi
Saya sempat terpikir untuk menjelaskan bahwa teman-teman berkumpul di ruang saya bukan bermasud untuk menagih catatan supervisi, melainkan memang di sinilah ruangan mereka. Namun, saya khawatir ada hal mendesak yang ingin segera beliau sampaikan atau bahkan ada pertimbangan lain yang saya tidak ketahui. Akhirnya, saya pilih diam. Apalagi Pak Mefi ini masih muda, semangat, dan sangat energik.
Pembicaraan Pak Mefi pun berlanjut. Saya dan seluruh yang hadir memperhatikannya. Saya terkesan dengan beberapa pernyataan beliau. Di antaranya, tentang tahfiz. Beliau menekankan, murajaah lebih penting daripada menambah.
Murajaah itu mengulang kembali hafalan yang sudah dipunya. Artinya, merawat yang sudah ada. Adapun menambah itu mengadakan dari tidak ada. Artinya, mencari yang belum dipunya. Dengan demikian, menurut beliau, merawat yang sudah dipunya itu lebih penting daripada mencari yang belum dipunya.
Saya merenungkan pernyataan itu. Rasanya itu hal simpel yang baru saja saya sadari. Mengapa kita harus sibuk dengan yang belum kita punya jika saat bersamaan justru menelantarkan yang sudah kita punya? Tentu saya juga mengerti, lebih ideal keduanya dilakukan secara seimbang. Murajaah jalan, menambah juga jalan. Namun, dalam beragam situasi saya sering mengalami tuntutan untuk membuat prioritas. Dan saat itulah, pernyataan Pak Mefi sangat saya butuhkan.
Ups, sepertinya saya merasa tidak asing dengan substansi pernyataan Pak Mefi tersebut.
Ya, tak berselang lama saya ingat surah Ibrahim: 7. Lainsyakartum laazīdannakum. Jika kita bersyukur atas nikmat yang telah ada maka Allah akan menambahnya. Jadi, jika hendak dimudahkan untuk menambah, justru harus ada penguatan dalam murajaah. Bila ingin mendapatkan yang belum kita punya, semestinya dengan merawat yang sudah kita punya. Wallāhu a’lam. (A1)
Baca juga: 4 Juta