Jumat, (18/10/2024). Pagi yang cerah di hari yang penuh berkah. Gemuruh suara mengaji anak-anak terdengar di beberapa sudut SDIH 02. Jam pelajaran BAQ dimulai. Saya turut serta bersama anak-anak saat mengaji. Dimulai dari sesi pertama: kelompok BAQ saya yang kelas 3, kemudian dilanjut sesi kedua: kelas 1, dan sesi ketiga: kelas 2.

Sesi pertama telah usai. Saya lanjutkan ke sesi kedua yang bertempat di musala. Masyaallah. Anak-anak sudah menunggu. Saya lihat meja-meja lipat kecil dan meja guru mengaji sudah tertata membentuk formasi lingkaran. Tak lupa juga tiang peraga sudah berdiri kokoh di belakang meja guru. Saya pandangi mereka satu per satu, terlihat dari raut wajahnya tampak antusias dan semangat. Anak-anak kelas 1 tak kalah semangat dari kelas 3. Mereka berhasil memompa semangat saya lagi. Pelajaran BAQ sesi kedua pun dimulai.

Menjelang di penghujung pelajaran BAQ, saya melirik jam yang terpajang di dinding musala. Pukul 09.00. Pelajaran BAQ masih tersisa 15 menit lagi. Masih lumayan lama bagi saya untuk menikmatinya. Tetapi, tak seperti yang saya inginkan. Suasana ramai di luar musala, seperti sedang menanti saya dan anak-anak untuk segera keluar dari musala.

Saya pun mengakhiri pembelajaran BAQ pukul 09.10. Sebelum keluar dari musala, anak-anak tidak lupa membereskan peralatan mengaji. Terlihat tiga anak yang belum keluar musala. Masyaallah. Ternyata mereka menata meja lipat kecil milik teman-temannya yang belum tertata rapi. Pemandangan ini membuat perasaan saya menjadi lebih baik.

Sebelum keluar dari musala, saya teringat bahwa tiang peraga yang di musala akan digunakan juga di kelas 2. Daripada mengambil nanti, lebih baik saya bawa saat ini juga.

Pintu musala saya buka. Ternyata benar. Sudah ramai. Banyak ibu-ibu yang sedang menunggu di depan musala. Ada yang berdiri. Ada pula yang duduk. Saya keluar dari musala sambil membawa tiang peraga, ibu-ibu pun segera masuk ke musala. Dugaan saya, mereka akan mengaji juga.

“Astagfirullah. Kenapa tadi saya merasa kurang nyaman dengan mereka? Mereka juga melakukan kebaikan: mengaji,” batin saya.

Di tengah perjalanan saya membawa tiang peraga ke kelas 2, terlihat tangan mungil dari seorang anak ikut memegang tiang peraga yang saya bawa. Saya lirik.

“Azka?” seru saya.

Azka tersenyum.

“Masyaallah,” batin saya.

Kami pun membawa tiang peraga itu bersama-sama, hingga sampai di kelas 2. Kami pun menaruhnya di pojok dekat rak buku.

“Wah. Terima kasih banyak, ya, Azka,” puji saya.

“Sama-sama, Ustaz,” jawab Azka.

Suasana yang kurang nyaman menjelang akhir pembelajaran mengaji seketika berubah menjadi membahagiakan. Beberapa hal telah mengubahnya. Salah satu yang membuat saya terkesan ialah aksi Azka yang cepat, tanggap, dan tepat. Tenaga Azka yang ia sumbangkan cukup membantu. Akan tetapi, tekad dan niat tulusnya, sangat memberikan energi yang besar bagi saya. Tiang peraga yang awalnya terasa berat, seketika menjadi ringan. Dengan usia yang masih sangat belia, Azka sudah menampilkan salah satu kebaikan: membantu. Kerja bagus, Azka!

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code