“Bapak/Ibu, setelah jemaah Asar, saya mohon kita bertemu di musala. Matur nuwun.”
Senin, 14/10/2024, pukul 14.01, Pak Kambali mengirim pesan tersebut di grup WhatsApp Sekolah.
Azan Asar berkumandang. Saya bergegas menuju tempat wudu. Hamka dan kakaknya sudah selesai berwudu. Mereka sudah terbiasa mengikuti jemaah Asar di sekolah. Sebetulnya, mereka pulang pukul 13.30. Namun, Hamka dan kakaknya memilih dijemput terlambat. Dengan alasan khas anak-anak: ingin bermain dulu di sekolah.
Selesai berwudu, saya mengangkat keranjang hijau berisi tirisan piring yang sudah dicuci. Di dalamnya, terdapat sekitar 30-an piring dan sendok. Piring dan sendok itu dicuci oleh Pak Slamet. Saya bawa keranjang itu ke meja di selasar kelas 1. Saya lantas menuju musala.
Rangkaian salat jemaah Asar telah selesai. Saya dan teman-teman bertahan di musala. Rapat belum juga dimulai, Hamka mengetuk pintu. Ia membuka pintu musala. Melihat Bapak/Ibu Guru duduk melingkar, Hamka tahu diri. Ia segera menutup kembali pintu musala.
Sekitar pukul 15.05, rapat selesai. Saya menuju kelas 1. Melewati kaca ruang TU, saya sempat bingung. Saya mendapati meja tempat saya meletakkan keranjang hijau tadi kosong. “Ke mana keranjang hijau beserta isinya?” batin saya bertanya-tanya. “Oh, mungkin tadi sudah saya masukkan. Saya saja yang lupa.”
Saya buka pintu kelas. Saya makin ternganga dengan apa yang saya dapati. Keranjang hijau itu sudah bertengger di lantai sebelah barat karpet dalam keadaan kosong! Siapakah gerangan orang yang sudah berbaik hati menata piring-piring dan sendok-sendok itu ke dalam rak?
Sempat terlintas: apakah Hamka? Lintasan pikiran itu saya tepis. Bukankah Hamka sering pulang hingga Asar. Sebelum-sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal tersebut. Saya membereskan barang-barang saya dengan masih diliputi pertanyaan serupa. Siapa orangnya? Rasa penasaran itu saya pendam hingga saya pulang.
***
“Asalamualaikum, Mas Hamka,” sapa saya sembari menyambut uluran tangan Hamka.
“Waalaikum salam,” jawab Hamka lirih.
Hamka hendak berlalu untuk menata isi tasnya. Saya buru-buru memanggilnya.
“Mas Hamka, kemarin, yang menata piring dan sendok itu Mas Hamka?” selidik saya.
Hamka menjawab dengan anggukan kepala.
“Masyaallah. Terima kasih, ya, Nak.”
Hamka tersenyum dan berbalik menuju mejanya.
Terjawab sudah mengapa Hamka mengetuk pintu musala saat para guru hendak rapat kemarin. Rupanya, Hamka hendak meminta izin untuk menata piring dan sendok di rak. Hamka mengambil keputusan yang tepat. Meski belum sempat meminta izin, Hamka tetap mengeksekusi niat baiknya.
Selasa, 15/10/2024, sebelum memulai pelajaran Matematika, saya mengajak anak-anak berefleksi.
“Teman-Teman, kemarin sore, Bu Wiwik dibuat penasaran oleh salah seorang teman kalian. Kemarin, setelah (salat) jemaah Asar, piring dan sendok yang ada di keranjang sudah tertata di rak. Biasanya, kan, (piring dan sendok itu) ditata pagi harinya oleh Aqilaa, Kirana, dan Mutiara,” ulas saya dengan ekspresi yang saya dramatisasi.
Anak-anak tampak ingin tahu kelanjutan kisahnya.
“Bu Wiwik penasaran. Siapa yang sudah menata piring dan sendok itu? Bahkan, rasa penasaran itu Bu Wiwik bawa sampai pulang ke rumah. Hingga tadi pagi, pelakunya baru ketahuan. Ternyata, dia adalah Mas Hamka. Berkat kepeduliannya, insyaallah, nanti Bu Guru kasih bintang untuk Mas Hamka.”
Hamka tersipu. Teman-temannya bertepuk tangan.
Saya masih tak habis pikir. Hamka bertubuh kecil. Bagaimana dia bisa sekuat itu mengangkat keranjang berisi puluhan piring dan sendok berbahan stainless itu? Saya kian kagum atas kegigihan Hamka. Terima kasih, Hamka. Kepedulian dan kegigihanmu mejadi salah satu kado terindah untuk gurumu!