Kedua anak itu mengejutkan sekaligus menggembirakan saya.
Mereka masuk ruangan saya. Alhamdulillah, mereka tidak lupa mengucap salam saat masuk. Artinya, mereka telah mengamalkan apa yang telah diajarkan bapak ibu guru. Betapa beruntungnya para guru, mendapati murid yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Keduanya perempuan. Murid kelas 2 semua. Yang satu saya masih sangat ingat namanya. Inara. Satunya lagi, saya agak lupa. Wajahnya masih sangat saya kenali. Tapi, namanya saya lupa.
Kehadiran keduanya membuyarkan fokus saya. Ya, sebetulnya sebelum mereka hadir saya sedang fokus. Bahkan, menikmati fokus. Fokus mengulas tentang posting tulisan di web. Pendengarnya, Bu Yunita. Ups, bukan hanya mendengar, melainkan Bu Yunita sekaligus mempraktikkannya. Saya berhasil tidak menduakan pikiran saya. Namun, begitu keduanya hadir, selesai sudah fokus saya. Dan jika sudah begini, saya sering kali susah untuk kembali fokus. Itu salah satu kelamahan dan masalah saya saat ini.
Ulasan saya tentang posting tulisan belum tuntas. Baru sekitar 90%. Tinggal sedikit, sih. Namun, tetap saja belum tuntas.
Mulai pekan itu, Bu Yunita saya minta untuk mengunggah tulisan di web Sekolah. Tiap pekan satu kali. Saya jadwal tiap Kamis. Dimulai 17 Oktober 2024. Ini sebagai salah satu bentuk apresiasi untuk Bu Yunita. Atas ikhtiar Bu Yunita: berusaha konsisten menulis. Mulai 17 Agustus 2024, Bu Yunita menulis setiap pekan. Tulisan tersebut dikirim ke grup Klinik Menulis. Tulisan tersebut lalu disunting oleh ahlinya. Hasil suntingan menjadi bahan perbaikan bagi Bu Yunita. Setelah diperbaiki, tulisan itu dikirim lagi. Disunting lagi. Diperbaiki lagi. Demikian seterusnya, hingga tulisan tersebut disetujui. Proses itu memang panjang. Memeras pikiran. Menguji mental. Dan sering kali melelahkan pelakunya. Alhamdulillah, Bu Yunita berhasil melaluinya. Hanya satu kali Bu Yunita absen. Itu pun karena kesalahpahaman. Tepatnya: info saya yang kurang lengkap.
Bahkan, sebelum 17 Agustus 2024, Bu Yunita terlebih dahulu harus melalui berbagai tahapan untuk dapat mengirim tulisan ke grup Klinik Menulis. Termasuk di antaranya, berproses bersama Bu Wiwik. Sebetulnya hampir sama alurnya. Namun, kalau dengan Bu Wiwik, Bu Yunita dengan mudah mendapat penjelasan secara offline. Kebetulan ruangnya berdekatan. Pengalaman saya, bertemu secara offline lebih mempermudah penulis dalam proses perbaikan tulisan.
Kamis (17/10/2024) itu saya jelaskan cara posting tulisan sekaligus saya minta untuk mempraktikkannya pada postingan pertama. Belum selesai Bu Yunita melakukannya, kedua murid kelas 2—Bu Yunita mengajar kelas 2—hadir dan dan membuyarkan fokus saya. Mereka datang, menanyai saya tentang beberapa hal. Usai menyampaikan keperluannya, keduanya lalu menuju pintu, hendak keluar ruangan.
Baca juga: Kebaikan Berantai
Masyaallah, Bu Yunita sangat tanggap. Ia segera berseloroh, mengingatkan kedua muridnya. Yang diingatkan juga tidak kalah tanggap. Mereka segera menyadari apa yang semestinya mereka lakukan.
“Terima kasih, Pak Kambali,” seru keduanya.
“Sama-sama,” timpal saya.
Alhamdulillah, saya patut mensyukuri kenyataan ini. Mungkin sebagian orang ada yang menganggap, guru kelas 2 gagal mendidik muridnya. Buktinya, kedua murid itu tidak langsung mengucap terima kasih. Masih harus diingatkan, baru mengucapkannya. Ya, barangkali anggapan itu memang logis. Namun, bagi saya, justru sebaliknya. Anak usia kelas 2 sudah sewajarnya melakukan hal demikian. Mereka sudah tahu ilmunya, tetapi mempraktikkannya tidak sekaligus berhasil. Butuh proses. Butuh waktu. Jika langsung berhasil, malah ada risiko tidak bertahan lama.
Nah, dalam berproses yang membutuhkan waktu tidak sebentar itulah, dibutuhan guru yang sabar dan konsisten menjaga perilaku/akhlak anak. Butuh guru yang juwèh. Dan Kamis itu, Bu Yunita telah membuktikannya. Itulah yang menggembirakan saya. Kehadiran kedua anak itu menjadikan saya dapat melihat langsung sikap juwèh Bu Yunita. Terima kasih, Bu Yunita. (A1)
Baca juga: Pil Juwèh Anti Jêlèh