“Hari ini kaptennya siapa, Bu?” tanya beberapa anak.

“Kemarin Amira. Jadi, hari ini Gabi,” jawab Bu Eva.

“Tapi Gabi belum datang, Bu. Adys juga,” timpal mereka.

Nomor presensi Gabi dan Adys berurutan. Keduanya juga saudara kembar. Dapat dipastikan mereka berangkat sekolahnya bersama. Hari itu Gabi terlambat. Demikian pula Adys.

Penentuan kapten didasarkan pada urutan nomor presensi. Jika yang bersangkutan uzur, kapten digantikan oleh murid dengan nomor presensi setelahnya.

“Karena Mbak Gabi dan Adys belum datang, maka kapten hari ini digantikan oleh Hana,” terang saya.

Hana bergegas maju ke depan barisan.

“Siap, gerak! Lencang depan, gerak!” pekik Hana.

“Itu Gabi, Bu,” seru beberapa anak.

Setelah menata sepatunya, Gabi dan Adys menuju selasar kelas 1. Keduanya lantas melepas gendongan tas punggung masing-masing dan menaruhnya di sisi kiri pintu kelas.

“Gabi, harusnya kamu jadi kapten,” seru Asha.

Ia baru tersadar kalau hari itu merupakan jatahnya menjadi kapten. Raut wajah Gabi langsung berubah. Muram. Bahkan air matanya tumpah. Melihat kesedihan Gabi, saya dan Bu Eva beradu pandang. Terselip rasa iba di hati saya. Sempat tebersit opsi menyilakan Gabi menjadi kapten. Segera saya tepis opsi itu. “Ini saatnya Gabi belajar,” batin saya.

Satu per satu murid-murid salim lalu duduk di karpet. Mereka duduk sesuai urutan masuk. Gabi duduk di barisan paling belakang. Tangisnya masih berlanjut. Meski tak tersedu dan tak bersuara, air matanya deras mengalir.

“Mbak Gabi, sedih tidak jadi kapten hari ini?” tanya saya.

Gabi menjawab dengan anggukan kepala.

“Enggak apa-apa, ya. Gabi bisa jadi kapten besok hari Senin.”

Gabi kian histeris. Isak tangisnya lirih terdengar. Saya merasa salah langkah. Gabi sedang berusaha mengelola emosinya. Seharusnya saya memberinya waktu dulu.

“Ya sudah, sekarang Mbak Gabi menenangkan diri dulu, ya. Mau minum?” tawar saya.

Gabi menggeleng.

Setelah doa, tangis Gabi mereda. Ketahanannya terkendali hingga jam keempat. Saat istirahat pertama, tangis Gabi kembali pecah.

“Bu, Gabi nangis lagi!” lapor Mutiara.

Saya memberi isyarat kepada Mutiara untuk mendekat.

“Mbak Muti, Gabi dihibur, ya. Kalau masih tetap menangis, Gabi dibiarkan dulu saja, supaya tenang,” bisik saya.

Saya dan Bu Eva sengaja tidak mengintervensi terlalu jauh. Kami berkeyakinan Gabi bisa menguasai dirinya. Terbukti, ia tetap bisa fokus mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Hingga akhirnya, Gabi dapat melalui hari yang berat itu meski ia menangis hingga tiga kali dalam waktu yang berbeda.

Rupanya, tangis Gabi terulang kembali saat di rumah. Ibundanya yang menceritakan hal itu. Saat mengambil Laporan Tengah Semester keesokan paginya.

“Alhamdulillah, pagi ini sudah tidak mellow lagi, Bu,” terang Bu Winda.

***

“Asalamualaikum,” sapa Gabi dengan gaya khasnya.

“Waalaikum salam. Alhamdulillah, Mbak Gabi datangnya gasik,” puji saya sembari menerima uluran tangan Gabi untuk salim.

“Tadi, Adys kasih tau aku, eh, saya (supaya) jangan nonton TV. Biar enggak terlambat,” terang Gabi bangga.

Saya mengacungkan jempol kanan saya sambil tersenyum lebar selebar senyuman Gabi.

Gabi berjalan berjingkat menuju mejanya. Ia pun bergegas menata isi tasnya.

“Bu Wiwik, tadi saya bilangin Gabi biar enggak nonton TV. Biasanya, dia suka nonton TV kalau pagi,” jelas Adys.

“Masyaallah, Mbak Adys hebat. Mengajak adiknya dalam kebaikan. Besok Mbak Adys juga jadi kapten. Berangkatnya seperti hari ini, ya.”

“Siap, Bu Wiwik,” jawab Adys mantap.

Jalan berliku yang dilalui Gabi menjadi pelajaran berharga untuknya. Bahkan untuk saudara kembarnya juga. Tidak mudah menjadi Gabi. Ia berkutat dengan rasa kecewa, marah, dan sesal yang berkecamuk. Hebatnya, Gabi dapat melewatinya dengan caranya sendiri. Meski ditemani derai air mata, logikanya tetap di jalur yang tepat. Ia tahu harus bagaimana menyikapi kegagalannya hari itu. Setelah mendung di hari Kamis, dunia Gabi berpelangi indah di hari Senin. Selamat, Gabi! (A2)

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code