Jumat (27/09/2024) pagi terjadwal pembagian Laporan Tengah Semester (LTS). Sedianya, kegiatan mulai dilaksanakan pukul 08.00. Namun, ada beberapa wali murid yang bermaksud mengambil sebelum jadwal. Saya dan Bu Eva tidak keberatan, karena dokumen yang hendak dibagikan sudah siap sejak Kamis siang.
Pembagian LTS diatur dalam dua sesi. Sesi pertama untuk murid-murid dengan nomor presensi 1—16. Selainnya, terjadwal pada sesi kedua. Orang tua diberi pilihan untuk berkonsultasi dengan wali kelas atau tidak. Jika hendak konsultasi, risikonya, orang tua perlu menunggu antrean. Kenyataannya, hampir semua yang hadir tetap menghendaki konsultasi. Sekitar pukul 11, pembagian LTS selesai.
Agenda hari itu cukup padat. Bakda Zuhur, saya dan beberapa teman guru bertugas untuk melaksanakan observasi dan pengukuran seragam calon murid baru. Ada tiga pendaftar yang akan diobservasi hari itu—Kaysha, Seena, dan Sania. Bersyukur, sebelum pukul 13, dua dari tiga calon murid yang ditunggu-tunggu telah hadir.
“As-salāmu ’alaikum,” sapa Bu Eva.
“Wa ’alaikumus-salām,” jawab bunda Kaysha dan Seena.
Kaysha dan Seena diarahkan untuk duduk di karpet. Keduanya ditemani Bu Eva. Sementara itu, orang tua mereka saya persilakan duduk di kursi.
“Perkenalkan, saya Bu Wiwik. Saya guru kelas 1, bersama Bu Eva. Terima kasih, Ayah/Bunda atas kepercayaannya mendaftarkan putrinya di sekolah kami,” tutur saya mengawali pembicaraan.
Perbincangan berlanjut seputar serba-serbi kegiatan belajar murid-murid kelas 1. Saya juga menyampaikan pesan dari Kepala Sekolah terkait kebijakan Sekolah, Lembaga, dan Yayasan. Saat berbincang, ada rasa was-was terselip. Sania belum datang.
“Ayah/Bunda, adakah yang perlu kami perjelas lagi?”
“Insyaallah, sudah cukup jelas, Bu.”
“Baik, jika demikian, saya pamit menemani Ananda dulu, njih.”
Selain Bu Eva, Bu Yunita juga turut menemani Kaysha dan Seena. Kedua gadis kecil itu masih asyik menggambar sambil sesekali ngobrol dengan Bu Yunita dan Bu Eva. Tak lama berselang, Sania datang. Ditemani ibundanya.
“Alhamdulillah,” batin saya lega.
Pukul 13.30, observasi dan pengukuran seragam telah selesai. Bu Shoffa merekap hasil pengukuran seragam. Masih ada waktu 10 menit untuk menyiapkan diri menuju kegiatan berikutnya: home visit.
Baca juga: Kerja Luar Biasa
Hana adalah murid yang hendak kami kunjungi. Mobil Lembaga sudah datang. Saya, Bu Eva, dan Ustaz Adhit bergegas masuk mobil. Tak lupa, buah tangan untuk Hana kami bawa. Sebuah meja lipat berlaci. Di alasnya tertempel foto semua murid kelas 1, saya, Bu Eva, dan Ustaz Adhit.
Bersyukur, kami tak terlambat. Pukul 14.00 kami tiba di rumah Hana. Bu Dian (ibunda Hana) menyambut kami. Hana, berlari dari dalam rumah, turut menyambut kami. Ia menyalami ketiga gurunya. Selain Hana dan ibundanya, eyang putri Hana turut menemani kami.
“Ternyata, Mbak Hana kalau di rumah enggak bisa diam, ya? Padahal, kalau di kelas, manis, kalem, dan tertib,” seloroh saya.
Bu Dian dan Eyang Putri saling pandang. Beliau berdua tersenyum membenarkan perkataan saya.
“Iya, Bu. Dulu waktu TK, saya juga enggak percaya saat gurunya bercerita kalau Hana pendiam. Semester 2, baru kelihatan aslinya,” tutur Bu Dian sambil melirik ke arah putrinya.
“Iya, Bu Guru. Waktu perpisahan, Hana diminta tampil ini dan itu. Kok, Hana lagi, Hana lagi,” imbuh eyang Hana.
Fakta ini mengingatkan saya pada pengalaman home visit sebelum-sebelumnya. Ada sebagian anak yang sangat berbeda sikapnya antara saat di rumah dan di sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, anak-anak tersebut akan menunjukkan apa adanya mereka.
“Alhamdulillah, ternyata Mbak Hana keren! Di kelas, Mbak Hana juga boleh, lo, menampilkan bakatnya.”
“Hana pernah membaca sari tilawah waktu Haflah,” sergap Hana.
Tanpa diminta, gadis manis itu merapal arti surah Luqman ayat 14. Tiba-tiba, dengan lincahnya, Hana berlari ke kamarnya. Ia mengambil kertas dan sekotak besar peralatan mewarnai. Hana asyik menggambar di ruang keluarga. Saya dapat melihatnya dari tempat saya duduk. Sekitar lima menit kemudian, Hana kembali berlari ke ruang tamu. Ia memamerkan hasil karyanya. Hana menggambar seorang gadis kecil. Ia mengumpamakan gadis yang ia gambar itu adalah dirinya.
“Oh, iya, Bunda, gimana salatnya Mbak Hana?”
“Alhamdulillah, Bu, kalau Senin—Jumat bisa full. Tapi, kalau Sabtu dan Ahad, Subuhnya sering bolong,” jelas bunda Hana.
“Alhamdulillah. Tinggal sedikit lagi, lo, Mbak Hana. Ayo, Mbak Hana berusaha, ya, biar salat lima waktunya bisa penuh.”
“Iya, misal Hana bangun kesiangan, salat Subuhnya tetap dilaksanakan, ya. Kan, Hana masih kelas 1, jadi enggak apa-apa salatnya terlambat, yang penting dikerjakan,” timpal Bu Eva.
Hana mengangguk.
“Tapi, Hana bilang sama Bunda kalau nomor satu itu harus jujur!” respons Hana mantap.
Yang Hana maksud jujur adalah dalam pengisian jurnal Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Di sana terdapat ceklis salat lima waktu. Kolom salat Subuh Hana ada yang disilang karena ia tidak melaksanakannya.
“Masyaallah, betul sekali.”
Kalimat terakhir Hana tersebut saya renungkan. Dulu, hari pertama Hana di kelas 1, Pak Kambali berpesan kepada murid-murid bahwa syarat utama belajar itu ada dua: jujur dan nurut. Kedua syarat itu juga sering kami ulas dan ulang di kelas. Alhamdulillah, Hana membesarkan hati kami. Terima kasih, Nak! (A2)