“Siapa yang tadi pagi sudah sarapan?” tanya saya kepada murid-murid dengan nada lagu “If You’re Happy”.

Semua murid menjawab, “Sayaaa!” sambil mengangkat tangan kanan mereka.

Ya, hari ini anak-anak harus sudah sarapan karena akan diimunisasi. Berhari-hari saya galau. Pekan lalu Bu Betty—perawat di UKS SDIH—mengabari jika Kamis depan akan ada imunisasi MR untuk murid-murid saya. Bagaimana nanti jika mereka menangis, takut, atau bahkan menolak disuntik? Kegalauan ini membuahkan satu ide.

“Anak-anak, besok Kamis akan ada imunisasi untuk kalian. Tempatnya di SDIH,” saya mengawali pembicaraan.

“Imunisasi itu disuntik, ya, Bu?” tanya seorang murid.

“Iya. Siapa yang berani disuntik?”

Hanya sedikit anak yang menjawab “Sayaaa!” dengan mantap. Lainnya ragu, bahkan ada yang tidak menjawab.

“Imunisasi besok namanya MR, untuk mencegah cacar dan rubela. Seperti yang pernah Bu Wiwik bilang dulu kalau tubuh kita ini punya perisai. Nah, supaya perisai kita semakin kuat, selain makan minum gizi seimbang, olahraga, dan istirahat cukup, ikhtiar lainnya adalah dengan cara imunisasi.”

Tapi kan sakit, Bu,” respons Naren. “Aku besok nggak usah berangkat aja, deh.”

“Iya, sakitnya cuma sebentar. Anak-anak tahu, kan, cerita “Upin Ipin” yang mau disunat? Awalnya mereka takut, namun akhirnya mereka berhasil melawan rasa takutnya itu. Anak-anak juga pasti bisa. Aku anak pemberani. Aku tidak takut disuntik!” jelas saya menguatkan mereka.

Penjelasan panjang itu tak cukup meyakinkan anak-anak untuk melawan rasa takut mereka. Masih tampak raut keraguan di wajah-wajah mungil itu.

“Emm, Bu Wiwik akan memberikan sebuah bintang untuk anak yang berani disuntik,” senjata pemungkas saya luncurkan.

Secercah binar harapan saya rasakan. Wajah-wajah ragu itu makin berkurang. Semoga lusa mereka tetap pada keberanian masing-masing untuk mau diimunisasi meski dengan iming-iming bintang.

Done! Imunisasi berjalan lancar.

Senjata pemungkas tersebut cukup efektif. Terbukti, dari dua puluh empat murid yang diimunisasi, hanya dua yang menangis.

Hampir setiap hari saya memberikan bintang. Setiap hari itu pula saya tidak pernah menjanjikan di awal. Kriteria penerima bintang pun selalu berubah. Sekehendak saya. Harapannya, murid peraih bintang merasa dihargai, namun ia berbuat baik bukan karena iming-iming itu.

Keputusan untuk menggunakan “bintang” sebagai hadiah atas keberanian diimunisasi merupakan hal yang juga saya galaukan. Memberi reward dengan perjanjian di awal sungguh bukan hal baik. Saya terkesan dengan apa yang pernah disampaikan Miss Rizqa—guru Bahasa Inggris SDIH—dulu. Apa yang saya lakukan berpotensi membentuk pola pikir anak untuk melakukan kebaikan demi mendapat hadiah, menurut beliau. Saya sepakat, namun tak punya pilihan lain.

Astagfirullah.

“Reward itu lebih baik daripada punishment,” Pak Kambali pernah menyampaikan. Setidaknya, kalimat itu cukup mengurangi rasa bersalah saya. (A2)

Bagikan:
240 thoughts on “Bintang Galau”

Comments are closed.

Scan the code