Sejak Rabu (03/04/2024) murid SDIH 02 sudah mulai libur. Libur akhir Ramadan dan Idulfitri. Namun, hari itu gurunya masih masuk. Ini tidak hanya berlaku di SDIH 02, tetapi mulai PAUD hingga SMA di bawah naungan LPI Hidayatullah. Memang demikianlah keputusan yang ditetapkan Direktur.

Rabu itu saya mempersilakan guru dan pengabdi non-guru mengawali aktivitasnya dengan tadarus mandiri di ruang masing-masing. Tidak lama. Yang penting justru kontinuitasnya. Rambu-rambu dari saya: 7 menit. Tak masalah hanya dapat 5 halaman, 4 halaman, 3 halaman, atau bahkan 1 halaman sekalipun. 

Usai tadarus mandiri, semuanya saya persilakan ke ruang kelas 1. Duduk lesehan. Di karpet yang masih tertata rapi. Bekas acara Ramadan Ceria. Ya, sebelumnya murid-murid mengikuti Ramadan Ceria. Acaranya dipusatkan di ruang kelas 1. Rasanya ada kesan akrab saat duduk lesehan. Ups, itu menurut saya. Apalagi dengan duduk melingkar. Tak ada kesan eksklusif di antara semua yang duduk melingkar. 

Hari itu banyak sekali yang hendak saya bahas. Mulai evaluasi kegiatan di bulan Ramadan hingga kegiatan pascalebaran. Namun, saya memang berusaha untuk tidak meninggalkan mengaji. Saat itu kami mengaji tentang zakat. Fokus ke zakat fitrah. Saya pegang buku referensi. Kitab Al-Gāyah wa Al-Taqrīb. Karya Syekh Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahani. Masyhur dengan sebutan Abu Syuja’. Beliau lahir tahun 433 H. Wafat tahun 593 H. 

Saya ambil posisi duduk di sisi selatan. Agak menjauh dari AC. Saya tidak terlalu tahan dingin. Beberapa kali saya melihat sisi kanan saya. Backdrop Ramadan Ceria masih terbentang di tempatnya. Melihat backdrop itu, tiba-tiba saya merasa kagum dan bangga. Ya, guru-guru dan para pengabdi SDIH 02 memang saya akui kreatif dan inovatif. Dalam situasi yang terbatas, mereka mampu mengelola sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang bermakna. Untuk para murid dan stakeholder lainnya. Backdrop itu adalah salah satu saksinya. Terima kasih, Teman-Teman.

Saya baca tulisan di backdrop. Saya terhenti di baris “Motivasi dan Menulis Bersama Kak Yeni”. Saya sangat terenyuh. Saya terbayang Kak Yeni. Seorang difabel. Tak hanya berjalan harus memakai kursi roda, tapi jari tangan pun sering terasa kaku. Bahkan, saya masih begitu terkesan dengan cerita beliau. Di usia 19 tahun harus dirawat di rumah sakit. Dan yang menggetarkan saya: divonis hanya mampu bertahan hidup hingga usia 20 tahun. 

Vonis itu membikin saya menjadi sedih. Saya bayangkan, andai saya di posisi Kak Yeni. Bisa jadi kesehatan saya makin ngedrop. Dan mungkin malah tidak sampai usia 20 tahun.

Faktanya: Kak Yeni masih bertahan hidup. Melebihi usia 20 tahun. Bahkan saat ini sudah mencapai usia 37 tahun. Bagi saya, ini sangat inspiratif. Terlepas dari faktor suprarasional, saya pun menanya, “Bagaimana bisa demikian? Apa obatnya?”

“Hingga sekarang belum ditemukan obatnya,” jawab Kak Yeni.

“Lalu?”

“Ya, tidak dikasih obat.”

Kemudian Kak Yeni memberikan tipnya. Itu berdasar pengalaman hidupnya. Sangat simpel tipnya: selalu berpikir positif. Kenyataannya, tanpa obat, Kak Yeni masih mampu bertahan hidup. Bahkan, beliau juga berusaha agar dapat memberi kemanfaatan kepada orang lain. Dan itu beliau buktikan. Berkali-kali Kak Yeni menjadi trainer dalam pelatihan menulis. Pun beliau terus produktif menulis. Tak hanya mengajari, tetapi juga memberi contoh. Walaupun hanya bisa mengetik dengan 1 jari, Kak Yeni tetap istikamah menulis.

Menulis itu salah satu di antara empat keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. 

Ups, tiba-tiba saya jadi teringat dengan kitab yang saya pegang Rabu pagi itu. Penulisnya wafat tahun 593 H. Sekarang ini tahun 1445 H. Berarti, berjeda sekitar 852 tahun. Ratusan tahun kitab itu terus dipelajari oleh banyak orang. Itu artinya ilmu yang Syekh Abu Syuja’ tuliskan sangat memberi manfaat kepada banyak orang. Meskipun sudah wafat, Syekh Abu Syuja’ terus memperoleh “royalti” pahala amalnya, ilmu yang bermanfaat. Begitu besarnya manfaat menulis.

Saya beruntung berkesempatan bertemu dengan Kak Yeni. Bahkan, Kak Yeni juga menginspirasi guru-guru dan murid-murid SDIH 02. Maka, saya sangat berterima kasih kepada tokoh di balik layar kegiatan bersama Kak Yeni ini. Siapakah beliau?

“Pak Kambali, saya hendak matur,” ucap Bu Wiwik.

Nggih, Bu. Silakan.”

“Tadi saya bertemu mama Fillio.”

Nggih?”

“Beliau punya teman. Difabel. Beliau menawarkan, bagaimana bila dihadirkan di Sekolah untuk motivasi anak-anak?”

Saya menyetujuinya. Itu jelas kegiatan bermanfaat. 

Ya, Bu Dian Susilowati, mama Fillio. Beliaulah aktor di balik layar kegiatan bersama Kak Yeni. Saya merasa sangat terdukung dengan peran beliau. Terima kasih, Bu Dian.

Berkali-kali saya merasakan secara langsung peran serta orang tua/wali murid dalam proses edukasi di SDIH 02. Sungguh luar biasa dukungan beliau-beliau. Semoga hal ini berdampak positif terhadap tumbuh kembang murid-murid SDIH 02. (A1)

Baca juga:

Dukungan Orang Tua

Semangat dan Dukungan

Peran Dukungan

Membuktikan

Terakhir Pulang

Sebuah Tip

Bagikan:
One thought on “Terima Kasih, Mama Fillio”

Comments are closed.

Scan the code