“Hu-hu-hu ….”

 Terdengar sesenggukan. Makin lama suaranya makin keras. Setelah diperhatikan betul, ternyata suara itu tidak jauh dari tempat duduk Bu Amik. Dan benar juga, Sabrina sedang duduk di sebelah kursi Bu Amik.

Tidak lama, Bu Amik langsung menghentikan kegiatan mengetiknya. Lalu duduk di sebelah kiri dan menjejeri Sabrina. Ya, yang sedang menangis adalah Sabrina. Sabrina dirangkul bahunya dan ditanya oleh Bu Amik.

“Sabrina kenapa?”

Yang ditanya tidak menjawab. Ia terus menangis sambil mengusap matanya. Sesekali mukanya ditutup dengan jilbab coklatnya.

Di sekitar Sabrina ada Cemara, Naren, Nadia, dan Sultan. Mereka duduk mengelilingi Sabrina, yang sedang menangis.

“Nadia tahu, kenapa Sabrina menangis?” tanya Bu Amik.

“Tadi sama Ridho, Bu.”

“Memang, Ridho bilang apa kepada Sabrina?” selidik Bu Amik.

“Sebenarnya Ridho cuma bilang gini, ‘Sabrina, itu lo, salah. Kan bangun datar? Harusnya ditempel di bangun ruang, itu.’ Tapi,“ lanjut Nadia, “dengan nada tinggi.”

“Yang salah apa?”

“Salah nempel. Harusnya gambarnya ditempel di bangun ruang, tapi ditempel di bangun datar,” jelas Nadia.

Nadia juga menjelaskan, “Saya juga minta maaf, tadi terbawa emosi. Tadi ikutan ngomong dengan nada tinggi. Sab, itu bangun ruang, Sab. Bukan bangun datar.”

“Masyaallah, anak ini baik sekali, dengan jujur mengakui kekeliruan yang telah dilakukan,” kata Bu Amik dalam hati.

Oke, sekarang Nadia minta maaf, ya, sama Sabrina,” pinta Bu Amik.

Nadia pun segera mengulurkan tangannya, sambil berkata, “Maaf, ya, Sab.”

Sabrina hanya mengangguk.

Bu Shoffa sebagai guru yang mengajar Matematika waktu itu, berpesan, ”Dalam permainan jika ada yang menang ada yang kalah itu biasa. Tidak usah saling menyalahkan. Tidak perlu marah-marah kepada temannya.”

Kemudian Bu Shoffa juga berpesan, “Yang tadi sudah membuat temannya tidak nyaman atau menangis, menyalahkan teman, nanti silakan minta maaf.

Setelah mendengar pesan dari Bu Shoffa, beberapa anak menghampiri Sabrina. Mereka hendak minta maaf. Mereka adalah Cemara, Kalynn, dan Sultan.

Nadia mencoba menghibur Sabrina, sambil berkata, ”Kayaknya nggak cuma Sabrina yang salah, tadi. Sultan juga salah.”

“Iya,” sahut Sultan sambil tersenyum lebar sampai terlihat giginya.

Kalynn, yang masih duduk di samping Sabrina, seperti mencoba menghibur juga dengan berkata, ”Habis ini ngaji, ya, Bu. Sabrina dihentikan dulu. Ngaji-nya nanti menyusul.” (Mungkin maksudnya saat jam mengaji, Sabrina biar tenang dulu. Kalau sudah tenang baru menyusul mengaji.)

Beberapa saat kemudian, Valda menghampiri Sabrina. Ia juga ingin menghibur Sabrina, yang masih tampak menangis. Sambil mengelus pundak Sabrina, Valda berkata “Ngga pa-pa. Harusnya aku tadi bantuin.”

“Lha, tadi, Valda nggak bantuin?tanya Bu Amik.

Nggak.

“Kenapa?”

“Lupa.”

Menjelang berakhirnya pelajaran Matematika, Bu Amik menambahkan, untuk membesarkan hati Sabrina, ”Sudah. Sabrina nggak usah nangis lagi, ya. Teman-teman sudah minta maaf. Saat belajar, ada salah biasa. Dari kesalahan itu, kita jadi tahu yang benar. Sebentar lagi ngaji. Ngaji-nya Sabrina juga pinter, kok, sudah sampai halaman 18. Sabrina harus semangat. Semoga segera naik halamannya dan segera naik jilid 5.”

Beberapa saat kemudian, terdengar selawat dari pelantang yang ada di depan ruang Tata Usaha, tanda waktunya pelajaran BAQ.

Alhamdulillah, saat pelajaran BAQ Sabrina sudah tidak lagi tampak murung atau menangis. Ia sudah kembali ceria. Sabrina sudah bisa tersenyum dan tertawa bersama Hasna, teman satu kelompok saat mengaji.

Bagikan:

By Suparmi

2 thoughts on “Nada Tinggi”
  1. Semoga murid-murid dimudahkan belajar tuntas dalam semua aspek: kognitif, psikomotorik, dan afektif.

Comments are closed.

Scan the code