Pelajaran BAQ telah usai. Setelahnya, terjadwal Bahasa Indonesia. Pekan ini, Bu Wiwik bertekad untuk fokus pada menulis. Bukan menulis secara teknis, tetapi lebih ke menuangkan ide ke dalam sebuah tulisan. Bu Wiwik mencoba dengan meminta murid-muridnya menulis tentang pengalaman berkesan yang baru saja mereka alami, yakni field trip. “Anggap saja ini tes diagnostik,” batin Bu Wiwik.

“Saya enggak bisa, Bu!”

“Susah, Bu!”

“Saya bingung mau nulis apa, Bu!”

Itulah beberapa tanggapan murid-murid saat mereka diminta menulis. Sebagian besar murid merasa kesulitan. Bu Wiwik menyadari, ia belum memberikan bekal yang memadai agar murid-muridnya mahir menulis. Namun, ia teringat akan sebuah pesan yang disematkan di grup Telegram “Klinik Menulis”: MENULIS adalah satu-satunya cara untuk BELAJAR menulis.

Dapat dipastikan, anak-anak akan merasa kesulitan. Namun, itulah prosesnya. Bu Wiwik tetap pada keputusannya: hari ini anak-anak menulis tentang field trip.

 “Teman-Teman, menulis itu seperti berbicara. Apa yang kalian pikirkan, tuliskan saja,” pesan Bu Wiwik mengawali instruksi.

“Supaya lebih mudah, Anak-Anak bisa memulai dengan menjawab pertanyaan: kapan, di mana, siapa, bagaimana, dan mengapa,” terang Bu Wiwik.

Bu Wiwik lantas mendetailkan keterangannya itu dengan memberikan contoh-contoh kalimatnya. Sesekali ia meminta murid-muridnya untuk membuat kalimat secara lisan.

“Baik, sekarang, silakan Anak-Anak menulis tentang pengalaman kalian saat mengikuti field trip kemarin. Menulisnya di buku harian, ya.”

“Yeay!” seru anak-anak.

Ya, beberapa pekan lalu, Sekolah memfasilitasi anak-anak dengan buku harian. Sengaja, dipilih buku dengan desain khas anak. Gambar kavernya menarik. Di sisi kiri sampul, terdapat spiral kawat yang melilit lubang-lubang kecil. Garis pada lembaran-lembarannya juga lain dari yang biasanya dipakai anak-anak. Biasanya, anak-anak menggunakan buku bergaris tiga untuk membiasakan menulis rapi. Kali ini, Bu Wiwik sengaja menggunakan buku harian yang bergaris tunggal. Tujuannya supaya anak-anak fokus pada upaya untuk menuangkan ide, dan tidak terlalu berkutat pada hal-hal teknis menulis. Bersyukur, dengan buku harian itu, anak-anak menjadi lebih bersemangat.

“Teman-Teman, lima menit lagi bel. Yang belum selesai menulis, bisa melanjutkannya nanti saat ada waktu luang. Atau, kalau mau dilanjutkan di rumah juga boleh,” jelas Bu Wiwik. “Yang sudah selesai, boleh makan dulu,” lanjutnya.

Di beberapa sudut kelas, ada Elora, Rara, Shaqueena, Icha, Rafa, dan Alisha, yang masih asyik menulis. Setelah dikuatkan kembali, keenam anak tersebut bersedia istirahat.

Hasil tulisan anak-anak dikumpulkan. Bu Wiwik cukup bangga atas capaian murid-muridnya. Namun, mereka tetap butuh latihan. Dan satu-satunya cara adalah dengan menulis. Lagi dan lagi.

Baca juga: Menulis Itu (Tidak) Mudah

***

Selain berlatih, Bu Wiwik perlu menunjukkan bukti bahwa menulis itu tidak sesulit yang dibayangkan. Rabu (06/03/2024), Bu Wiwik menayangkan sebuah gambar pada layar proyektor.

“Teman-Teman, silakan amati gambar ini. Amatilah dengan teliti. Bu Wiwik beri waktu dua menit.”

Murid-murid mengamati dengan saksama. Setelah beberapa saat, Bu Wiwik menghitung mundur mulai dari 10 hingga 0.

“Dari gambar itu, adakah yang bisa membuat kalimat?”

Beberapa anak mengangkat tangannya. Bu Wiwik menunjuk Gibran.

“Bu Guru marah karena muridnya tidak mendengarkan,” jawab Gibran.

“Bagus sekali, Mas Gibran! Bu Wiwik ketik di sini, ya,” respons Bu Wiwik sembari mengetik kalimat yang disampaikan oleh Gibran di bawah gambar.

“Ada yang punya jawaban lain?”

Elora mengangkat tangan.

“Ada dua anak yang bermain sendiri,” jawab Elora.

“Mbak Elora juga benar. Masih ada lagi, lo, Teman-Teman. Ya, silakan Mas Fathir.”

“Bu Guru sedang menerangkan pelajaran,” sahut Fathir.

“Mas Fathir juga hebat!” puji Bu Wiwik.

Elora kembali mengangkat tangannya. Bu Wiwik menatap Elora sambil menganggukkan kepala.

“Murid-murid yang duduk di sebelah dua anak itu terganggu,” respons Elora mantap.

Rara mengangkat tangannya, lalu menjawab, “Murid-murid jadi tidak fokus belajar.”

“Wah, Mbak Rara juga enggak kalah hebat!”

Rara tersipu dipuji gurunya. Bu Wiwik mengetik semua kalimat yang diucapkan oleh murid-muridnya. Ia menuliskannya sesuai urutan yang menjawab. Tiap kalimat diketik dalam satu baris. Disertai nama murid yang menjawab.

“Sepertinya masih ada yang perlu kita jelaskan lagi tentang gambar ini,” lanjut Bu Wiwik.

Anak-anak mencoba menjawab. Ada yang mengulang kalimat yang sudah disebutkan. Ada pula yang menjawab kurang tepat. Bu Wiwik merasa perlu memberi petunjuk yang lebih detail.

“Menurut Bu Wiwik, kita perlu membuat kalimat untuk membuka cerita. Anak-anak bisa mengawalinya dengan menceritakan apa yang sedang mereka lakukan dan di mana kegiatannya.”

“Oh, saya tahu!” sergap Gibran sambil mengangkat tangan. “Ibu guru sedang mengajar di kelas,” lanjutnya.

“Nah, itu dia. Betul sekali, Mas Gibran! Coba sekarang anak-anak baca semua kalimatnya,” pinta Bu Wiwik.

Serentak, murid-murid membaca satu demi satu kalimat.

“Menurut kalian, apakah urutan kalimat-kalimat tadi sudah sesuai?”

“Belum!” jawab anak-anak.

“Lalu, harusnya bagaimana?”

Diskusi mengalir dengan asyik. Anak-anak terlihat antusias. Satu demi satu kalimat di-cut paste oleh Bu Wiwik. Dipindahkan ke bagian bawah. Setelah semua kalimat ter-paste, Bu Wiwik menghapus nama-nama murid yang tadi menjawab. Jadilah sebuah cerita yang runtut dan utuh. Murid-murid kembali membaca tiap kalimat.

“Wah, ternyata bisa jadi cerita, ya,” seletuk Rafa.

“Iya, ternyata Anak-Anak bisa, nih, bikin cerita hanya dari sebuah gambar. Mudah, kan? Anak-Anak tinggal menulis saja apa yang ada di pikiran.”

Diskusi dan refleksi berlanjut. Secara aklamasi, disepakati bahwa ternyata menulis itu mudah. Bu Wiwik melancarkan “jurus” berikutnya. Ia kembali menayangkan gambar. Berupa gambar berseri bernomor 1—4.

Bu Wiwik menggunakan gambar berseri, yang notabene akan lebih mudah dikembangkan menjadi sebuah cerita dibandingkan gambar pertama tadi. Ia sengaja menyuguhkan hal yang sulit dulu, baru yang mudah. Hal ini Bu Wiwik lakukan untuk menguatkan (lagi) pola pikir murid-muridnya bahwa ternyata menulis itu mudah. Dan terbukti. Pada gambar berseri ini, anak-anak lebih mudah menyusun cerita. Tak lebih dari lima menit, cerita selesai disusun.

Sepekan sebelumnya, saat menyusun rencana pembelajaran, Bu Wiwik tidak berharap lebih. Tak disangka, proses yang dilalui sangat mengesankan—menurut Bu Wiwik. Anak-anak menemukan cara bagaimana menuangkan ide. Dan yang terpenting, anggapan bahwa menulis itu sulit, mulai terkikis. Terbukti, hari berikutnya, saat ada penugasan menulis, anak-anak lebih percaya diri menuangkan ide mereka. Semoga suatu saat nanti, menulis menjadi hal yang biasa. Sebiasa kita bicara. (A2)

Bagikan:
239 thoughts on “Menunjukkan Bukti”

Comments are closed.

Scan the code