Pukul 06.00 pagi. Hiruk pikuk lalu-lalang murid-murid nyata terlihat. Meski terlambat, tak tampak ketergesa-gesaan. Murid-murid bergegas, tetapi tidak terburu-buru. Ya, sebagian besar murid-murid masuk pukul 06.00. Mereka mengikuti program takhaṣṣuṣ—program percepatan hafalan Al-Qur’an.

Kamis, 22/02/2024, Kepala Sekolah, pegawai TU, dan empat orang guru SDIH 02 berkesempatan belajar di SD Islam Pangeran Diponegoro (SDI PD). Tak ketinggalan, Direktur LPIH dan Kepala Divisi Akademik turut mendampingi.

Sehari sebelumnya, Pak Kambali mengirimkan rundown  kegiatan di grup WhatsApp Sekolah. Kami diminta hadir pukul 06.00. Bersyukur, kami dapat menepatinya.

Belum juga memasuki area sekolah, saya sudah disuguhi pemandangan yang luar biasa—sebagaimana saya ceritakan pada awal tulisan ini. Saya sangat terkesan dengan semangat anak-anak dan para guru di SDI PD. Setiap hari mereka tiba di sekolah pukul enam pagi. Demi satu tujuan yang sangat mulia: menghafal Al-Qur’an!

Di bagian depan sekolah, terdapat ruang terbuka—tanpa dinding, tetapi beratap—yang  cukup luas. Di sana, murid-murid dan seorang guru memulai kegiatan pagi mereka—takhaṣṣuṣ. Lesehan. Tanpa meja. Mushaf dipangku. Sembari menunggu giliran setoran hafalan, murid-murid menghafal mandiri atau berpasangan saling menyimak.

Beberapa menit berselang, kami diarahkan ke ruang kelas 6D. Di gedung B lantai 3. Ruang kelas itu disulap menjadi ruang pertemuan. Tiga meja kursi murid ditata di bagian depan. Sebuah layar proyektor dipasang di sebelah kirinya. Di bagian belakang, berjajar beberapa meja tempat jamuan minuman. Kebetulan, hari itu murid-murid kelas 6D sedang mengikuti outing class ke Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah. “Kalau murid-murid 6D tidak ada kegiatan outing class, pertemuannya di mana, ya?” batin saya. Segera saya tepis rasa penasaran itu.

Bu Dewi—Kepala SDI PD—memaparkan program Sekolah. Beliau menceritakan awal berdirinya SDI PD yang penuh perjuangan. Dari paparan itu, sangat tampak betapa Bu Dewi adalah seorang yang penuh semangat, optimisme, dan percaya diri. Bu Dewi juga dengan sangat terbuka menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Bahkan, yang berkaitan dengan “dapur” Sekolah.

Tak terasa, jarum pendek jam tepat menunjuk angka 10. Bu Dewi berpamitan. Beliau harus segera terbang ke Jakarta. Sebelum meninggalkan ruangan, kami sempatkan foto bersama dulu.

Pak Sahri melanjutkan pemaparan tentang KBM dan program tahfiz. Lugas, apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Beliau bahkan mempraktikkan teknik talaki dalam pengajaran tahfiz. Kami menjadi muridnya. Dalam waktu 10 menit, kami berenam hafal surah Taha ayat 1—5.

“Memang harus menyenangkan, Bapak/Ibu. Kalau anak-anak tertekan, hafalannya akan sulit sekali masuk,” ujar Pak Sahri.

“Betul!” batin saya. Dan terbukti.

Jelang Zuhur, kami berwudu. Suasana terasa sangat natural apa adanya. Anak-anak bersikap biasa saja. Meski melihat ada tamu, tak tampak sikap yang dibuat-buat. Kondisi ini menguatkan bahkan membuktikan ucapan Pak Sahri di akhir pemaparan beliau, ”Beginilah kami, Bapak/Ibu. Apa adanya, tidak di-setting. Yang baik-baik silakan diambil. Jika ada yang kurang baik, mohon disimpan sendiri.”

Suasana KBM di SDI PD

Seusai wudu, saya, Bu Ambar, dan Bu Shoffa mengikuti jemaah Zuhur di kelas 6C. Meja kursi murid-murid dimundurkan. Kali ini, ruang kelas disulap menjadi musala. Separuh ruang kelas digunakan untuk saf-saf salat. Setelah salat, meja kursi tersebut dikembalikan lagi ke tempat semula.

***

Sekembalinya ke Sekolah, Pak Kambali mengajak kami menyampaikan apa yang didapat, berefleksi, dan menyampaikan pendapat tentang rencana tindak lanjut yang hendak diterapkan di Sekolah.

Beberapa kali saya mendengar teman-teman menyampaikan kesan yang sama tentang SDI PD. “Dalam kesederhanaan dan keterbatasan (fasilitas), guru-guru dan murid-murid di SDI PD tetap bersemangat menjalani hari-hari. Kita patut bersyukur, Yayasan telah menyediakan fasilitas yang sangat memadai untuk mendukung kegiatan Sekolah.”

Ya, studi banding kali ini makin menguatkan perspektif saya. Dalam keterbatasan, kita akan “dipaksa” berpikir lebih kreatif untuk tetap mengoptimalkan proses sehingga target yang direncanakan tetap tercapai. Terima kasih, SD Islam Pangeran Diponegoro.

Bagikan:
235 thoughts on “Bersahaja”

Comments are closed.

Scan the code