“Bu, tadi belum jadi mendirikan tenda,” pesan WhastApp dari Bu Wiwik di Kamis (01/02/2024) sore.

Kebetulan di hari tersebut saya absen. Saya justru merasa senang membaca pesan tersebut. Saya jadi bisa turut membersamai anak-anak belajar mendirikan tenda.

Collaborative Camp” namanya. Proyek di kelas 1 yang akan dijalankan selama satu bulan penuh di Februari ini. Kemah Kolaborasi ini bukan kemah biasa. Bukan memasang tenda di hutan, bukan pula di tepi pantai pada umumnya. Hanya di dalam ruang kelas yang ukurannya tak begitu luas.

Rencananya, akan didirikan enam tenda, sesuai jumlah kelompoknya. Kelompok putri tiga tenda dengan masing-masing empat anggota. Kelompok putra tiga tenda, masing-masing ada tiga anggota. Tenda warna biru untuk anak putra dan warna merah muda untuk anak putri.

Sejak pertama diberi tahu, anak-anak sudah tak sabar ingin segera mengeksekusi. Sedianya Rabu siang, ternyata waktunya tidak cukup karena belum tahu trik memasang tenda yang dipesan. Alasan lain juga karena sudah mepet dengan waktu pulang. Kamis belum jadi, karena ada syarat yang harus dituntaskan anak-anak supaya bisa mendirikan tenda.

Tiba di hari Jumat, seusai BAQ, kami mulai mendirikan tenda. Saya dan Bu Wiwik sebelumnya mencoba mempelajari triknya, yang kami tonton melalui siaran YouTube. Bu Wiwik mencatat lalu mendiktekannya kepada anak-anak. Pipanya harus dikelompokkan dulu. Baru mulai merakit.

Sejak mengelompokkan pipa, ternyata juga tidak mudah bagi anak. Mereka harus membandingkan ukuran, lalu memisahkannya. A sampai G, kami menamai masing-masing ukuran pipa.

“Bu, gimana ini?”

“Bu, seperti ini?” tanya beberapa kelompok.

Saya dan Bu Wiwik berkeliling. Memastikan anak-anak telah memisahkan pipa-pipa sesuai namanya.

Tampak di sebelah utara. Kelompok salad masih belum selesai memisahkan pipa. Mereka tampak kebingungan. Sedang teman-temannya sudah selesai. Segera saya hampiri. Saya dekati lalu perjelas perintah dari Bu Wiwik. Saya ajak mereka berbagi tugas. Karena di sinilah kolaborasi dibutuhkan.

Saya berfokus di kelompok salad sampai kerangkanya jadi. Baru beralih ke kelompok lain jika ada yang masih belum selesai. Ternyata kelompok bayam juga mengalami kesulitan. Beberapa pipa yang dipasang tidak sesuai perintah. Saya dan Bu Wiwik terpaksa membongkarnya. Kami rakit ulang.

“Mbak Aza pasang di sini. Mbak Shaqueena pasang di sebelah sini. Salma pasang di sebelah sana. Mbak Icha, tolong ambilkan pipa yang C.”

Mungkin berkesan berisik. Tapi bertujuan supaya anak-anak menghayati bagaimana itu pembagian tugas. Alhamdulillah, kelompok bayam akhirnya selesai. Semua kelompok telah berhasil merangkai kerangka untuk tenda berbentuk rumah. Kini waktunya memasang kain tendanya.

“Bu Eva, sini, bantuin.”

“Bu Wiwik, ini gimana?”

Seru beberapa anak meminta bantuan. Gaduh, memang. Tetapi, itulah tanda keseruan mereka. Murid-murid belajar fokus dan menemukan cara. Seperti Keenan, yang bisa menemukan caranya sendiri. Saat guru memberi instruksi dengan cara A ketika memasang tenda, Keenan memilih sembari mengamati gambar tutorial sendiri, lalu ia bisa menemukan sambungan yang pas.

Butuh ketelitian dan kesabaran tentunya. Semua kelompok tidak mau menyerah begitu saja.

Sekitar sepuluh menit waktu yang terpakai untuk memasang kain tenda untuk enam kelompok. Setelah selesai semua, anak-anak dipersilakan istirahat dan boleh makan di dalam tenda. Semringah yang terpancar dari wajah dan gestur mereka sungguh tampak. Setelah melewati lelahnya mendirikan sebuah tenda.

Waktu istirahat telah usai. Dilanjutkan Duha, lalu duduk di karpet untuk mengevaluasi kegiatan yang baru saja dialami.

“Anak-anak tahu apa itu kolaborasi?” tanya Bu Wiwik.

“Kerja sama!” seru Aza.

Tibalah waktunya untuk refleksi dan apresiasi. Bu Wiwik juga menyampaikan beberapa informasi penting. Mengenai penilaian tenda dan kelompok setiap hari, penataan isi tas, mencuci tempat bekal, juga termasuk program celengan subuh yang insyaallah akan bermanfaat untuk sesama.

“Hari ini nggak belajar, Bu?” celetuk salah satu anak.

“Dari tadi kan kita belajar,” jawab Bu Wiwik.

“Enggak, Bu. Tadi kan bermain,” ucap Rara.

Di benak anak-anak, belajar terbatas hanya pada aktivitas yang berkaitan dengan mata pelajaran. Sejak pagi, mereka tak merasa belajar, padahal banyak pelajaran yang mereka dapat. Tentu bukan melalui teori. Tapi melalui pengalaman. Jika itu dianggap bermain, berarti anak-anak mendapat bonus istimewa dari belajar kali ini: bermain. Biasanya lebih asyik dan mengena. Semoga tak hanya mengasyikkan, tetapi juga menjadi pembelajaran yang bermanfaat.

Penampakan tenda ketika sudah jadi.
Bagikan:
2 thoughts on “Bermain, Bonus Belajar”
  1. Anak-anak saling bekerja sama dengan baik dan mendapatkan banyak pengalaman dari kegiatan tersebut.

  2. Anak-anak senang sekali. Sampai gak sadar kalau mereka telah belajar banyak hal.

Comments are closed.

Scan the code