Libur panjang. Kamis—Ahad, 8—11 Februari 2024. Kamis, libur peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. Jumat, cuti bersama tahun baru Imlek. Sabtu, libur tahun baru Imlek. Ahad, libur rutin setiap pekan.
Di antara keempat hari tersebut, satu-satunya tanggal yang tidak berwarna merah—setidaknya pada kalender LPI Hidayatullah—adalah tanggal 9 Februari 2024. Namun, tanggal 9 tersebut tetap libur sebagaimana layaknya tanggal berwarna merah karena ketetapan Pemerintah. Melalui surat keputusan bersama tiga menteri. Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Apa agenda liburan panjang ini? Saya tidak punya rencana apa pun, kecuali satu hal: istirahat. Bahkan, saya juga tidak ingin pergi-pergi ke mana pun. Ups, ada satu agenda yang sempat terlintas: merampungkan membaca buku. Itu jika kondisinya memungkinkan. Bukan agenda utama, melainkan hanya agenda cadangan. Agenda utama: istirahat. Bagi saya, istirahat itu sangat penting.
Sebetulnya buku yang saya maksud, sudah mulai saya baca. Namun, belum rampung. Baru sekitar 40%.
Awalnya saya kurang bisa menikmati buku itu. Bagi saya, bahasa dalam buku itu seperti bahasa intelektual. Terlalu tinggi kelasnya. Sedang saya masih kelas rendah. Saya lebih bisa menikmati tulisan dengan bahasa populer. Lebih enak dirasakan. Tidak terlalu mengernyitkan dahi untuk berpikir.
Tapi saya juga sadar, kalau isinya sangat baik dan saya butuhkan maka saya harus mau bekerja keras memahaminya. Dengan beragam cara. Termasuk dengan cara bertahap. Tidak langsung selesai membaca satu buku. Tapi butuh waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Baca juga: Teman SLP
Nah, buku itu saya duga termasuk kategori yang saya butuhkan. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, buku itu pemberian dari Pak Teguh. Hampir mustahil Pak Teguh memberikan kepada guru SD Islam Hidayatullah 02, jika buku itu dipandang tidak dibutuhkan. Kedua, dari judul bukunya. Judulnya sangat lugas. Tapi saya belum tuntas memahaminya. “Etos Profetik Sang Pendidik”.
Jadi, saya harus bekerja keras untuk memahaminya. Walau kurang suka dengan bahasanya, saya harus tetap membacanya. Sepertinya saya sangat membutuhkan isi buku itu.
Nama penulis buku itu, sebagaimana tertulis di sampul buku, Fahrudin Eko Hardiyanto, S.Pd., M.Pd.—saat ini telah bergelar doktor. Saya baca di bagian “Biografi Penulis”, ternyata beliau dosen Universitas Pekalongan.
“Oh, dosen! Akademisi. Pantas saja bahasanya intelektual!” gumam saya.
Ups, tapi pernah menjadi guru SMP, guru SMA, guru SMK. Berarti, beliau juga pernah menjadi praktisi. Dan beliau satu almamater dengan saya: lulusan Universitas Negeri Semarang.
Bila baca buku, sering kali saya membaca riwayat penulisnya terlebih dahulu. Setelah itu, baru mulai membaca isi buku.
Membaca riwayat Pak Fahrudin, saya makin bersemangat untuk mempelajari isi buku beliau.
Di halaman 13, Pak Fahrudin membahas tentang karakteristik profetik.
Profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical. Artinya, kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Demikian, menurut buku itu.
Saya kurang yakin. Itu gara-gara saya berasumsi: profetik identik dengan profesi. Maka saya cari pembanding. Saya lihat di KBBI. Ups, ternyata saya yang salah. Di KBBI profetik diartikan sebagai berkenaan dengan kenabian atau ramalan.
Selanjutnya, Pak Fahrudin menuliskan bahwa etos profetik sangat populer dengan istilah STAF (Ṣiddῑq, Tablῑg, Amānah, Faṭānah).
Masyaallah, saya baru sadar arah tulisan Pak Fahrudin.
Dan akhirnya, sejak halaman 13 itu saya sangat bisa menikmati buku itu. Tak mengapa dengan bahasanya yang intelektual. Saya sangat membutuhkan isinya.
Baca juga: Tidak Jadi Menyerah
Alhamdulillah, saya mendapat istilah baru. Dari buku itu, saya juga memperoleh ilmu dan semangat baru sebagai guru. Bahkan, saya juga merasakan pelajaran di luar buku tersebut: sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. (A1)
Siap mendengarkan dan menampung ilmu yang didapat, Pak.
He-he.