Tepat pukul 07.00, koordinasi Sabtu pagi dimulai. Mengaji, teacher’s speak up, informasi kegiatan sekolah, dan diskusi merupakan menu rutin kegiatan ini. Sebelum diakhiri, Bu Wiwik menyampaikan temuannya.
“Bapak/Ibu, saya merasa Kamis kemarin rangkaian kegiatan salat Zuhur berjemaahnya lebih tertib dan tenang dari hari-hari sebelumnya. Apakah Bu Amik atau Bu Shoffa melakukan atau membicarakan sesuatu dengan anak-anak sebelumnya?” selidik Bu Wiwik.
Agak ragu, Bu Shoffa menimpali, “Sepertinya biasa saja, Bu. Kamis lalu, sebelum wudu, saya sampaikan ke anak-anak bahwa Bapak/Ibu guru selalu mengamati mereka. Lalu, saya sampaikan, mulai hari itu Naufal dan Fillio maju ke saf pertama.”
Rabu siang, sebelum pulang, Bu Wiwik melakukan refleksi bersama murid-muridnya.
“Teman-Teman, hari ini Bu Wiwik dan Bu Eva kecewa. Salat Zuhur hari ini tidak lebih tertib dari kemarin. Bahkan, ada tiga anak di saf pertama yang ngobrol dan bercanda. Bu Guru sedih. Bu Wiwik yakin, kalian sudah paham harus bersikap bagaimana saat di musala. Namun, sepertinya ketiga teman kita tadi kurang bisa menahan diri.”
Beberapa murid menyebut nama Rama, Rafa, dan Gibran. Ketiga anak yang disebut namanya itu mengiakan. Mereka merasa bersalah. Tampak dari raut wajah mereka.
“Mohon maaf, Mas Rama, Mas Rafa, dan Mas Gibran, mulai besok, kalian bertiga pindah ke saf kedua dulu, ya. Nanti, posisi kalian akan digantikan oleh Mas Fillio dan Mas Naufal kelas 2,” jelas Bu Wiwik.
Ketiganya menerima dengan legawa. Mereka menyadari kesalahan mereka dan mengikuti kesepakatan yang telah dibuat sejak awal tahun ajaran.
“Jangan khawatir, insyaallah kalian bisa maju lagi ke saf pertama. Buktikan bahwa kalian layak menjadi contoh, ya. Bu Wiwik yakin, kalian pasti bisa!” pungkas Bu Wiwik.
Sejak Kamis pekan ini, Naufal dan Fillio yang semula di saf kedua, diperkenankan maju ke saf pertama. Baik di kelas 1 maupun di kelas 2, disepakati bahwa yang berhak menempati saf pertama adalah murid-murid pilihan. Mereka dipilih berdasarkan pengamatan guru. Yang diamati adalah sikap selama di musala. Murid-murid yang menunjukkan adab yang baik saat di musala, itulah yang berhak menempati saf pertama.
***
Temuan Bu Wiwik yang disampaikan saat koordinasi Sabtu pagi itu cukup membuatnya berlega hati. Setidaknya, pemberlakuan saf “keramat” masih bisa dilanjutkan. Jika cara itu sudah tak lagi jitu, kami—para guru—mesti “bersemadi” menemukan jurus baru. “Guru ora olèh kurang lakon. Yѐn kêntèkan lakon, ya, kulakan.” Begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Pak Kambali beberapa hari sebelum koordinasi Sabtu itu.