“Anak-anak sudah paham?” tanya saya selesai menjelaskan.
“Sudah …,” sahut murid-murid serempak.
“Yang belum paham boleh tunjuk tangan,” pinta saya.
Tidak ada yang tunjuk tangan satu pun.
Meski semua anak menjawab paham, saya tak memercayainya begitu saja. Tentu selama membersamai mereka sedikit demi sedikit telah memahami karakter dan kemampuan tiap-tiap anak. Terkadang role play jadi peramal juga.
Saya percaya diri membagikan LK. Jikapun ada yang butuh bantuan, itu sudah saya ketahui sejak awal. Dalam satu kelas tentunya tak semua punya kemampuan yang sama. Kadang-kadang role play jadi guru les privat, sudah biasa. Untungnya ada dua guru. Saya dan Bu Wiwik bisa saling membantu.
“Bu Eva nanti ajarin, ya, aku gak bisa,” ucap Fulanah 1.
Baru saja kertas diterima sudah laporan. Saya jawab, “Fulanah 1 pasti bisa, dicoba dulu, ya.”
“Gak bisa, Bu Eva,” rengeknya.
Saya persilakan semua mengerjakan. Ada tiga anak yang perlu bimbingan. Mereka duduk terpisah. Jadi saya harus ke sana kemari. Saat itu Bu Wiwik masih di luar kelas. Jika sudah ada yang selesai biasanya ada anak berinisiatif menawarkan bantuan. Tapi kali ini, sudah lewat beberapa menit belum ada yang selesai. Ada sepuluh soal yang saya berikan, yaitu tentang mengurutkan angka dari yang paling kecil dan yang paling besar.
Di tengah-tengah jam pelajaran, Bu Wiwik ke kelas. Membantu Fulanah 1. Setelah meyakini Fulanah 1 mampu melanjutkan sendiri, Bu Wiwik kembali ke kursinya.
Bel istirahat sebentar lagi berbunyi. Tapi tiga anak tersebut belum ada tanda-tanda hendak mengumpulkan. Saya cek, Fulan dibantu oleh Gibran. Fulanah 1 dan 2 saya panggil untuk mengerjakan di meja saya supaya bisa saya bimbing sembari menilai LK anak yang lain. Keduanya pun berebut tempat agar di samping saya. Saya atur posisinya. Alhamdulillah salah satunya mau mengalah.
Fulanah 2 saya anggap sudah paham. Ia mulai bisa mengerjakan sendiri tanpa ditunjuk per angka. Saya menjadi lega.
Bagaimana dengan Fulanah 1? Ia tampak masih belum mengerti. Masih harus didril per soal. Saya sempat bingung harus pakai cara apa lagi. Saya coba muhasabah diri untuk bisa memaklumi. Toh, saya juga sering begitu. Sudah dijelaskan berkali-kali masih belum paham. Ada yang namanya batas kemampuan.
“Nanti salatnya mau sebelahnya Bu Eva, ya,” celetuk Fulanah 1 tiba-tiba.
“Enggak mau, ah. Tapi kalau Fulanah 1 bisa mengerjakan nanti boleh deh dekat Bu Eva.”
“Yee … bener, ya, Bu?” jawabnya semangat.
Gestur tubuhnya juga menampakkan kalau ia memang benar-benar jadi semangat.
“Loh, kok jadi semangat,” batin saya.
Padahal saya hanya iseng negoisasi.
Saya terkejut karena setelahnya Fulanah 1 tiba-tiba bisa mengerjakan sendiri tiga soal terakhir. Saya jadi tambah bingung. Karena seolah seperti sulap. Yang mana awalnya ia selalu mengatakan “tidak tahu/tidak bisa” di setiap soal. Tapi setelah itu ia langsung menulisnya tanpa bertanya. Apakah ia membutuhkan motivasi atau umpan?
Saya harus menerima kalau ini hal yang lucu atau unik. Karena keesokan harinya saya minta Fulanah 1 maju ke depan, ia berhasil mengerjakan. Kemudian saya bagikan soal yang serupa, ternyata ia masih perlu didampingi lagi. Entahlah, dunia anak-anak memang selalu ada saja tingkah lucu dan uniknya.