“Pak Aruf, ikut saya, cek tempat, yuk!

Monggo, Pak Kambali,” jawab Pak Aruf.

Tak berselang lama, kami tiba di tempat tujuan. Tidak terlalu jauh. 

“Ternyata basah, Pak,” seloroh saya.

Memang sempat gerimis. Saat saya dan Pak Aruf tiba, gerimisnya sudah berhenti. 

Pak Slamet menyusul. Beliau datang untuk mengeringkan bagian yang masih basah. Tidak banyak. Hanya beberapa bagian saja. Rupanya Pak Slamet tanggap. Tanpa diminta, beliau sudah menyadari bahwa alasnya perlu dikeringkan.

Memang itulah risikonya memilih tempat terbuka. Sebetulnya sudah ada rencana B: bila hujan, bertempat di musala SD Islam Hidayatullah 02. Sejak berangkat dari rumah, saya juga sudah ancang-ancang. Tiba di Sekolah, gerimisnya berhenti. Saya mantap: sesuai rencana awal.

Bertempat di sebelah selatan lokasi pembangunan gedung baru SD Islam Hidayatullah 02. Kebetulan ada sebagian area yang berpaving. Dari situ, anak-anak bisa melihat secara langsung calon gedung baru yang masih dalam proses pembangunan. Di situlah acara khataman dilaksanakan. 

Kali ini khataman bi al-gaib. Yakni membaca Al-Qur’an tanpa melihat tulisan di mushaf. Pembaca utamanya: Pak Aruf dan Bu Shoffa. Kedua guru ini memang hafal Al-Qur’an 30 juz. 

Tepat pukul 07.00. Anak-anak menuju tempat tersebut.

Saya ambil posisi paling dekat dengan bangunan. Sebelah kiri saya berjajar anak-anak kelas 1. Sebelah kanan saya ditempati anak-anak kelas 2. 

Semua anak-anak telah duduk. Demikian pula, Bapak/Ibu Guru. Juga Bu Ambar (staf TU). 

“Ini berdoa dulu, Pak?” tanya Bu Wiwik.

“Ya, Bu.”

“Anak-Anak, yang hari ini jadi kapten, silakan berdiri!” pinta Bu Wiwik.

 Ridho pun berdiri. Hari itu Ridho menjadi kapten di kelas 2. Satu lagi. Ada anak yang berdiri. Perempuan. Kelas 1. Dea, namanya. Dua anak itu memimpin doa pagi.

Tiba-tiba saya ingat sesuatu. Ya, di awal tahun dewan guru telah bersepakat. Redaksi doa pagi perlu dikoreksi di beberapa bagian. 

Setidaknya dua bagian yang saya masih terkesan. Pertama, kata “kepahaman” diubah menjadi “pemahaman”. Kedua, frasa “junjungan Nabi kita Muhammad” diubah menjadi “junjungan kita, Nabi Muhammad”.

Saya sangat mendukung kesepakatan dewan guru. Keyakinan saya, itu adalah contoh memandang pendidikan sebagai proses. Dalam proses butuh evaluasi dan tindak lanjut. Teman-teman guru telah melakukan evaluasi. Menemukan kekeliruan yang perlu diperbaiki. Butuh tindak lanjut. Memperbaiki yang sudah telanjur berjalan. Ini sangat menantang. Guru sudah terbiasa dengan redaksi lama. Itu akan merepotkan guru untuk melatih kebiasaan baru. 

Yang lebih besar tantangannya: kelas 2. Sudah satu tahun anak-anak terbiasa dengan redaksi lama. Bisakah anak-anak beradaptasi dengan pembiasaan baru? Dalam hal usia, saya yakin, anak-anak jauh lebih mudah beradaptasi dibanding para guru. Maka, kunci keberhasilan perubahan ini adalah guru. Mampukah?

Saya ragu. Tapi saya tidak boleh meruntuhkan semangat teman-teman. Saya tunjukkan dukungan saya. Apalagi saya yakin, teman-teman punya tekad kuat dalam perbaikan.

Hari itu, saat anak-anak berdoa, saya mendengarkan dengan saksama. Terkhusus pada bagian redaksi yang diubah.

Masyaallah, ternyata anak-anak berhasil. Redaksi baru sudah fasih dilantunkan anak-anak. Tidak tampak keraguan. Pembiasaan baru telah sukses disuguhkan teman-teman guru. Dalam satu semester ternyata teman-teman mampu menuntaskan pembiasaan baru.

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. 

“Terima kasih, Teman-Teman semua. Saya mengapresiasi usaha dan kerja keras kalian.” 

Saya pun merasa mendapat suntikan semangat baru: terus melakukan perbaikan. (A1)      

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code