Semua murid telah masuk ke ruangan. Murid-murid dan bapak/ibu guru duduk di karpet. Anak putra di sebelah barat, putri sebelah timur. Bu Eva, Bu Wiwik, dan Bu Amik duduk di belakang murid-murid. Ustaz Adhit di depan karena nantinya akan memimpin tahfiz.
“Sikap berdoa!” ajak kapten Shaqueena.
Bu Eva melihat sekeliling memastikan kelengkapan anak-anak. Ternyata ada satu anak yang belum hadir: Inara. Tak berselang lama tetiba Inara datang dari arah pintu dengan menggendong tas, sembari menenteng sepatu dan tas bekalnya.
“Alhamdulillah, Inara belum tertinggal jauh, jadi bisa ikut doa bersama,” batin Bu Eva.
Inara masih tersenyum. Lalu ia meletakkan barang-barangnya di depan meja Bu Eva. Bu Eva memberi kode menggunakan jarinya, bermaksud mengarahkan Inara agar langsung duduk bersama teman-temannya di karpet. Karena Bu Eva pikir ia belum terlambat-terlambat banget. Baru hendak dimulai.
Ups, ternyata Inara memilih berdoa sambil berdiri di belakang teman-temannya. Khusyuk. Ia sudah memahami konsekuensinya jika terlambat. Rasa-rasanya Bu Eva atau Bu Wiwik belum pernah menegaskan hal ini. Anak yang pernah mengalami keterlambatan mungkin sudah tahu, tetapi terkadang masih ada yang otomatis duduk bergabung bersama teman-temannya.
Ya, itu memang konsekuensi yang diberikan. Meskipun keterlambatan seutuhnya bukanlah salah anak. Tujuannya hanya untuk memotivasi anak-anak agar berusaha berangkat lebih awal lagi. Berdirinya pun tak lama. Selesai berdoa, anak yang terlambat boleh langsung duduk. Jika pun tertinggal doa, dia akan didampingi oleh salah satu guru dalam berdoa. Ini tak lebih dari sebuah konsekuensi. Bukan sebuah hukuman yang menyeramkan. Semata-mata untuk menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri anak-anak.