“Apakah kegiatan ini nanti ada tindak lanjutnya, workshop misalnya?” tanya Bu Mukasih.

Guru TK ABA 39 Semarang melontarkan pertanyaan itu dalam bedah buku di aula Yayasan Abul Yatama Semarang pada Sabtu, 14 Oktober 2023. Sebelumnya, dua orang narasumber membedah buku Semai Benih Karakter Utama: Cerita Keseharian Sekolah Rintisan. Pak Hasan, Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), membedah isi buku. Sementara, Bu Wiwik, guru SD Islam Hidayatullah 02 yang juga penulis buku yang dibedah, menceritakan proses kreatif yang dilalui hingga terwujud buku tersebut.

Bu Mukasih (memegang mikrofon) dari TK ABA 39

Setelah membedah anatomi buku, Pak Hasan mengupas beberapa keping sampel tulisan di dalamnya. Semua diteropong dengan lensa pendidikan. “Tugas guru ada empat: belajar, belajar, belajar, dan baru kemudian mengajar,” katanya, sambil membilang dengan isyarat jari tangannya.

“Jadi, kalau tidak suka belajar, tidak usah jadi guru. Dan salah satu cara belajar adalah membaca. Maka, kalau tidak suka membaca, ya sebaiknya tidak menjadi guru,” lanjutnya, sambil menyitir wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad ﷺ, yang berisi perintah untuk membaca.

Beliau menyisipkan pesan itu ketika mengupas tulisan Bu Dwi “Wiwik” Jayanti pada halaman 22—24: “Empat Tugas Guru”. Artikel ke-6 dari 69 judul tulisan itu merekam interaksi tiga anak kelas 1 ketika baru tiba dan menata perlengkapan sekolah di kelas. Penulis merasa mendapat pelajaran berharga dari perilaku murid-muridnya. Dia lalu teringat pada pesan kepala sekolahnya, “Tugas guru ada empat: belajar, belajar, belajar, dan mengajar.”

Dr. Hasan, S.E., M.Sc., Dekan FEB Unwahas

Di akhir paparannya, Pak Hasan menyampaikan sejumlah pesan penting. Pertama, beliau mengingatkan pentingnya pendidikan karakter. Tak lupa, beliau menukil makna surah ke-103 Al-Qur’an (Al-ʻAṣr). Sebagaimana tampak pada judulnya, buku yang dibedah memang berkisah tentang pelangi pengalaman kedua penulisnya dalam merintis pendidikan karakter di sekolah baru. Spirit surah Al-ʻAṣr begitu kentara mewarnai implementasinya.

Kedua, Pak Hasan mendorong semua guru—terutama para pengabdi di LPI Hidayatullah, Yayasan Abul Yatama Semarang—untuk terus belajar dan berinovasi. Penerbitan buku oleh SD Islam Hidayatullah 02 ini menjadi salah satu bukti hasil belajar dan inovasi tersebut. Seperti diakui Bu Wiwik, menulis cerita keseharian yang kelak menjelma buku ini menuntut kedua penulis untuk belajar banyak hal baru.

Dalam pidato pengantarnya, Pak Umar, Ketua Yayasan, juga mengapresiasi penulisan buku terebut sebagai inovasi kedua penulisnya. Tanpa bermaksud mengesampingkan kreativitas guru-guru lain yang sudah lebih dahulu menerbitkan buku, beliau melihat sesuatu yang berbeda pada karya dua pengabdi—guru dan kepala sekolah—di salah satu sekolah milik Yayasan tersebut.

Melengkapi jawaban atas pertanyaan salah seorang peserta, Pak Umar menegaskan, “Yayasan tidak sungkan memberikan apresiasi dan support untuk inovasi para guru. Pertimbangan Yayasan bukan besar atau kecilnya biaya yang dibutuhkan, melainkan nilai manfaatnya bagi kemajuan sekolah. Continuous improvement menjadi misi kita.”

Ketua Yayasan, Pak Umar Toha (tengah) bersama Sekretaris Yayasan, Pak Edrus (kanan) dan Pak Hasan (kiri)

Ketiga, Pak Hasan menekankan pentingnya kolaborasi. Tidak hanya sesama kolega dalam satu sekolah atau antarsekolah di dalam naungan satu yayasan saja kolaborasi perlu dibangun. “Kita harus menjalin kerja sama dengan sekolah lain, terutama sesama sekolah Islam. Kami siap berkolaborasi untuk maju bersama. Antarsekolah Islam tidak saling bersaing, tetapi saling membantu.”

Bedah buku ini menjadi wujud komitmen itu. Selain kalangan internal LPI Hidayatullah, guru dan kepala sekolah sejumlah TK di Kecamatan Banyumanik juga hadir sebagai peserta.

Keempat, Pak Hasan mengingatkan para guru untuk menjaga dan memperkuat sikap ikhlas dan istikamah. Proses penulisan buku ini sangat akrab dengan dua sikap itu. “Kami berusaha menepati komitmen yang kami sepakati sendiri: menyetor tulisan setiap Sabtu,” aku Pak Kambali, Kepala SD Islam Hidayatullah 02.

“Ketika bersepakat untuk mulai menulis, saya dan Bu Wiwik meniatkannya sebagai refleksi atas apa yang sudah kami lakukan. Tidak terpikir sedikit pun untuk menerbitkan tulisan-tulisan kami menjadi buku,” imbuhnya. “Dalam bahasa Bu Wiwik, entah mengutip dari siapa, zero expectation. Ikhlas itu, kan, mengenolkan harapan.”

Pak Kambali, penulis buku dan Kepala SD Islam Hidayatullah 02

Pada sesi kedua, Bu Wiwik secara lugas menceritakan suka dukanya selama menjalani tirakat di “Klinik Menulis”. “Tidak jarang kami harus merevisi satu tulisan sampai tiga atau empat kali,” akunya. “Draf-draf tulisan kami selalu kembali dengan penuh coretan. Rasanya plong ketika mendapat stempel keramat,” imbuhnya, sambil menayangkan stempel “APPROVED” di layar proyeksi. “Stempel keramat ini menandai bahwa tulisan kami sudah bebas dari coretan.”

“Sampai-sampai beliau menjuluki dirinya ‘coretor’, bukan korektor. Memang, bagi teman-teman, beliau itu menakutkan. Kata mereka, di mata beliau tidak pernah ada yang benar,” sambung Bu Wiwik, mendeskripsikan kekejaman “dukun” pengampu “Klinik Menulis” yang killer itu.

Bu Wiwik mengenang pahit getirnya menjalani tirakat menulis.

Kesulitan menulis bukan monopoli Bu Wiwik dan Pak Kambali. Bu Mukasih (TK ABA 39) dan Bu Fitri (TK Islam Al Azhar 14) mengaku punya pengalaman serupa.

“Bahkan saya pernah ikut workshop jurnalistik, tapi tetap saja gagal menghasilkan tulisan,” cerita Bu Mukasih.

Bu Fitri punya pengalaman lain lagi. “Kami sebenarnya juga rutin membuat catatan anekdot. Kami tulis perilaku anak-anak. Di tempat kami kan juga ada pendidikan karakter. Sebutannya, penguatan adab. Cuma, kami belum berani mengemasnya menjadi buku,” ungkapnya.

Bu Fitri (memegang mikrofon), dari TK Islam Al Azhar 14

Siapa bilang, menulis itu gampang? Adalah visi, yang menjadi sumber energi untuk menaklukkan tantangan demi tantangan yang dihadapi oleh calon penulis atau penulis pemula. Bagi Pak Kambali dan Bu Wiwik, visi yang menguatkan tekadnya adalah “menulis untuk refleksi praktik pendidikan dan pembelajaran”. Dan keduanya memilih pembangunan karakter sebagai arus utama pendidikan di sekolah mereka.

Bila akhirnya bunga rampai catatan pengalaman mereka itu menjelma menjadi buku, itu bonus belaka. Dua puluh tahun yang akan datang, anak-anak yang menjadi tokoh cerita dalam buku itu mungkin ada yang menjadi perwira TNI atau polisi, dokter, insinyur, saudagar, bankir, akuntan, bupati, gubernur, ulama, atau profesi apa pun. Ketika membaca kembali buku yang merekam kisah autentik mereka semasa kelas 1 SD itu, boleh jadi mereka spontan menengadah sambil berurai air mata, mendoakan guru-gurunya—sepasang penulis buku itu.

Bu Wiwik masih mendapat bonus tambahan: ucapan selamat dan doa ulang tahun. Sabtu itu bertepatan dengan hari kelahirannya. Adalah Pak Hasan yang membuka rahasia itu. Rupanya, sebelum memaparkan hasil reviu atas isi buku, beliau sempat mengulik profil kedua penulisnya. Ucapan selamat ulang tahun teriring doa dari seorang dekan tentu terasa amat berharga. Lebih membesarkan hati lagi, Pak Hasan adalah juga salah seorang pengurus Yayasan.

Pimpinan LPI Hidayatullah, Pengurus Yayasan, narasumber, dan penulis buku bersama para peserta bedah buku

Tidak lengkap jika pembedah buku hanya mengupas nilai-nilai positifnya. Demi perbaikan untuk edisi atau seri berikutnya, kekurangan-kekurangan yang ada pada buku tidak boleh disembunyikan. Pak Hasan memberikan dua catatan untuk buku ini: tanpa foto dan tidak ber-ISBN.

“Saya menyarankan, buku ini diterbitkan saja oleh penerbit profesional dan dijual secara profesional pula. Menurut saya, buku ini layak jual,” puji Pak Hasan. “O, ya, perlu ditambahkan satu lagi di buku ini: editor,” pungkasnya.

Ups, rupanya beliau lupa maksim editor: “Kalau bukunya baik, yang dipuji penulisnya. Kalau bukunya jelek, yang dicela editornya.” Gupak pulut ora melu mangan nangkane. Peribahasa Jawa ini pas untuk melukiskan nasib editor. Maka, editor yang cerdik berhak menyembunyikan namanya dari sampul buku. (Peringatan! Keputusan berbahaya. Tidak untuk ditiru, kecuali oleh editor amatir.)


Tabik.

 

 

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

239 thoughts on “Menulis Itu (Tidak) Mudah”

Comments are closed.

Scan the code