Sudah pukul 08.10. Saya kurang ketat mengendalikan diri. Padahal saya sudah memantapkan niat: durasi bicara saya maksimal 15 menit. Ini sudah molor menjadi lebih dari 25 menit. Saya harus memaksa diri saya sendiri: menghentikan pembicaraan.

Pembicaraan yang dihentikan paksa memang terasa kurang halus. Namun, bagi pendengar, bisa jadi itu lebih baik. Bagaimanapun juga, mendengar itu lebih capek daripada berbicara.

“Mari kita akhiri pertemuan ini dengan membaca hamdalah dan kaffāroh al-majlis bersama.”

Pertemuan saya akhiri. Sabtu (23/09/2023) pagi itu pertemuan bertempat di ruang kelas 1. Menggunakan bagian depan. Yang sudah digelar karpet hijau. Kami duduk lesehan. Dimulai pukul 07.00. Diakhiri pukul 08.10.

“Setelah pertemuan ini, saya hendak bertemu Bu Amik dan Bu Shoffa. Kita bertemu di kelas 2. Sekarang, nggih?”

Nggih, Pak,” jawab Bu Shoffa dan Bu Amik hampir bersamaan.

Saya bergegas keluar. Menuju ruang kelas 2. Tiba di depan pintu ruang kelas 2, saya melepas alas kaki. Dan menaruhnya di rak yang tersedia di depan kelas.

Ketika hendak membuka pintu, saya terhenti oleh Bu Shoffa yang bergegas mendekati saya.

Nyuwun pangapunten, Pak Kambali, saya mohon izin ke toilet terlebih dahulu.”

Nggih, Bu Shoffa.”

Saya lalu masuk ruang kelas 2. Saya duduk lesehan di karpet hijau. Sembari menunggu kehadiran Bu Shoffa dan Bu Amik, saya terpikir kejadian Bu Shoffa yang mohon izin ke toilet. Saya penasaran. Mengapa Bu Shoffa melakukannya?

Andai di posisi Bu Shoffa, saya perkirakan, saya tidak akan minta izin. Bukankah kegiatan di ruang kelas 1 berbeda dari kegiatan di ruang kelas 2? Sudah sewajarnya ada jeda kegiatan. Di saat jeda itu, saya bisa langsung ke toilet tanpa minta izin. Setelah itu baru bergabung di ruang kelas 2. Namun, faktanya: Bu Shoffa justru memohon izin. Mengapa Bu Shoffa melakukan demikian? Mengapa Bu Shoffa tidak langsung ke toilet saja?

Apakah justru tindakan yang saya pikirkan itu yang keliru? Memanfaatkan waktu jeda untuk hal yang kurang pas? Tetapi bukankah itu hal yang wajar? Atau itu sebetulnya keliru, tetapi sudah telanjur salah kaprah?

Sekarang saya memosisikan diri sebagai pimpinan. Apakah yang Bu Shoffa lakukan jadi masalah? Ataukah seandainya dia melakukan seperti yang saya pikirkan jadi masalah? Bagi saya (sebagai pimpinan), dua-duanya tidak ada masalah. Adakah perbedaan kesan pada diri saya (sebagai pimpinan)? Ada. Bu Shoffa terkesan lebih santun. Adakah perbedaan kenyamanan yang saya (sebagai pimpinan) rasakan? Ada. Yang dilakukan Bu Shoffa membuat saya lebih nyaman. Saat saya menunggu kehadiran Bu Shoffa, sedikit pun saya tidak ada prasangka buruk. Dan itu membuat nyaman dan tenang hati saya. 

Jadi? 

Sepertinya tindakan yang ada di pikiran saya yang memang kurang pas. Setidak-tidaknya yang dilakukan Bu Shoffa membuat pimpinan lebih nyaman dan meniadakan buruk sangka.

Beberapa saat kemudian, Bu Amik dan disusul Bu Shoffa hadir di ruang kelas 2.

Saya bertemu Bu Shoffa dan Bu Amik kurang dari 20 menit. Alhamdulillah, terjawab sudah penasaran saya. Pembicaraan dalam pertemuan tersebut sekaligus memberi petunjuk jawaban atas penasaran saya.

Bu Shoffa meyakini, guru sangat menentukan perilaku murid. Apa yang dilakukan oleh guru sangat berpengaruh dan berdampak kepada muridnya.

Bu Shoffa sangat berharap murid-muridnya berperilaku baik, santun, dan berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah.

“O, jadi itulah mengapa Bu Shoffa tadi memohon izin terlebih dahulu,” batin saya.

Terima kasih, Bu Shoffa, atas pelajaran dan ilmunya. (A1)

Bagikan:
3 thoughts on “Minta Izin”
  1. benar, karena pada dasarnya guru itu (digugu dan ditiru) jadi baik buruk nya sikap guru juga akan berpengaruh terhadap muridnya. Maka dari itu guru selalu di minta untuk terus belajar agar dapat memberikan contoh yg baik bagi murid

Comments are closed.

Scan the code