Sebelum magrib saya sudah tiba di rumah. Alhamdulillah, perjalanan dari Sekolah hingga rumah, lancar. Saya sangat patut mensyukurinya. Walau kondisi badan capek, saya masih dimudahkan menempuh perjalanan pulang dengan selamat.

Selepas Magrib dan rangkaian iringannya, saya membuka dan menghidupkan laptop. Sembari menunggu proses loading, saya membuka HP. Ada pesan masuk. Di aplikasi WhatsApp. Dari Bu Wiwik. 

“Pak Kambali, barusan saya cek website belum terbit tulisan terbaru, nggih? ”

Pesan tersebut terterima pukul 18.46. Saya langsung bisa menangkap apa yang dimaksud Bu Wiwik. Hari itu hari Kamis. Sudah kami sepakati, tiap Kamis saya terjadwal mengunggah tulisan di website Sekolah. Kamis itu sampai dengan magrib belum ada unggahan tulisan baru. Ya, saya memang belum mengunggah tulisan. Kebetulan, hari itu pikiran saya teralihkan ke hal-hal lain. Pertanyaan Bu Wiwik saya pahami dimaksudkan untuk mengingatkan saya. Saya bisa merasakan kesantunan dalam kalimat tersebut. Tujuan tercapai tanpa melukai orang yang disasar.

Saya membuka dashboard website Sekolah. Lalu saya unggah tulisan. Pukul 19.16 tulisan sudah berhasil tayang dan sudah dapat dinikmati para pembaca. Pukul 19.20 link tulisan di web saya bagikan di grup Sekolah. Saya publikasikan pula melalui status WhatsApp.

Tak berselang lama, tepatnya pukul 19.59, Pak Adhit kirim chat. Japri.

“Izin menyampaikan, Pak Kambali. Ada ejaan yang kurang.”

Chat tersebut dilengkapi dengan screenshoot. Isinya: potongan tulisan di web. Juga ada garis merah, penanda dari Pak Adhit. Di atas garis merah itu ada kata tertulis “kronolgi”. Saya paham yang dikehendaki Pak Adhit: kata di atas garis merah itulah yang hendak beliau koreksi.

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali. Chat Pak Adhit meyakinkan saya: beliau telah membaca tulisan di web dan peduli terhadap orang lain. Andai beliau belum membaca, pastilah tidak akan menemukan kesalahan tersebut. Andai beliau tidak peduli, pasti beliau tidak akan mengirim chat tersebut.

Matur nuwun, Pak Adhit,” balas saya. 

Saya merasa beruntung. Laptop di depan saya masih hidup. Tidak perlu saya tunda. Saya segera menambahkan huruf “o” pada kata “kronolgi”. Lalu saya klik tombol “update”. Saya periksa ulang. Kini tampilan yang dilihat pembaca sudah tertulis “kronologi”.

Saat diberitahu oleh Pak Adhit tentang adanya kesalahan kata, sempat muncul rasa malas dalam diri saya. Apalagi kondisi badan saya di malam itu sudah capek. 

“Tanpa saya ubah, pastilah pembaca paham. Yang dimaksudkan adalah “kronologi”. Bila demikian, untuk apa harus saya ubah. Cuma nambahi gawean aja,” batin saya.  

Akan tetapi, sesaat kemudian terlintas dalam pikiran saya hal yang bertolak belakang. Sudah semestinya saya bersyukur dan berterima kasih kepada Pak Adhit. Bukankah beliau telah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan saya? Bukankah Pak Adhit membutuhkan konsentrasi dan keseriusan hingga menemukan kesalahan “kecil” tersebut? Buktinya: saya sendiri tidak nglegéwo dengan temuan Pak Adhit.  Tidakkah saya sepatutnya menghargai maksud baik Pak Adhit untuk penyempurnaan tulisan? Tidakkah saya berpikir: Pak Adhit melakukan ini untuk kebaikan saya di khalayak pembaca? Mengapa saya harus mengikuti rasa malas? Kalau itu pekerjaan berat, mungkin lebih mudah dipahami. Lha ini? Hanya menambah huruf “o”. Begitu simpelnya. Mengapa harus saya menangkan rasa malas saya?

Saya pun membayangkan. Andai saya mengingatkan orang lain, lalu orang tersebut memperbaikinya. Betapa bahagianya saya. Jika demikian, kalau saya segera menambah huruf “o”, tentulah akan membahagiakan Pak Adhit. Bukankah salah satu amal yang utama adalah membahagiakan orang lain? Tidak hanya itu. Saya pun yakin, di kali lain Pak Adhit akan dengan senang hati memberitahukan kesalahan saya. Bila demikian, pastilah mempermudah diri saya untuk melakukan perbaikan.

Dan bukankah saya punya mimpi: kebiasaan saling mengingatkan membudaya di SD Islam Hidayatullah 02? Saya pernah membaca hadis: setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang memperbaiki kesalahannya. Saya meyakini hadis ini. Sehingga saya sering menyampaikan kepada teman-teman pengabdi, “Tidak mengapa kita berbuat salah, tetapi mari kita terus berusaha memperbaiki kesalahan kita. Dan itu akan mudah kita lakukan bila kita saling mengingatkan.”

Malam itu saya merasa diberi kesempatan oleh Allah untuk memberi contoh kepada teman-teman pengabdi lain. Saat diingatkan, bersegera memperbaiki diri. Apalagi Bu Wiwik dan Pak Adhit pun telah mengikuti yang saya minta: mengingatkan orang lain. Bahkan keduanya juga menggunakan cara yang santun saat mengingatkan. 

Akhirnya, rasa malas saya semakin terkikis. Dan alhamdulillah, saya dimudahkan menambah huruf “o” pada tulisan yang saya unggah di malam itu. Terima kasih, Bu Wiwik, Pak Adhit, Anda berdua telah menguatkan saya untuk terus menebar kebaikan. Saya berdoa, semoga kebiasaan saling mengingatkan membudaya di SD Islam Hidayatullah 02. (A1)

Bu Wiwik (paling kanan depan), Pak Adhit (tengah belakang), dan Bu Layla (paling kiri depan) sedang berpose bersama murid-murid.
Bagikan:
252 thoughts on “Posting”

Comments are closed.

Scan the code