Semua anak telah siap untuk wudu secara bergantian. Setiap giliran, ada tujuh anak. Hari itu, saya bertugas mendampingi. Meski hanya tujuh anak, mata ini bisa saja luput ketika mengawasi.
Ternyata tidak mudah memperhatikan secara mendetail tujuh anak yang wudu secara bersamaan. Beruntungnya, ada anak-anak yang tak segan memberitahu jika ada yang keliru. Tetapi, saya harus tetap memastikan kebenarannya.
Ada yang wudunya cepat, ada yang pelan, ada yang hemat air, ada yang ketika membasuh muka airnya dibuang dulu, ada anak yang setiap wudu pakaiannya sampai basah kuyup, dan ada juga yang sudah sesuai dengan yang diajarkan. Beda anak, beda cara. Meski yang diajarkan itu sama.
Saat ini fokus utamanya, anak-anak bisa berwudu dengan urut dan rata. Tidak perlu buru-buru, asalkan rata. Temuan yang sering, sikunya tidak terbasuh.
“Bu Eva, Langit wudunya cepat-cepat,” ujar Qaleed.
“Iii … Langit, kok cepat banget?” celetuk anak yang lain.
“Loh, tapi aku kan memang sudah selesai wudunya,” Langit tak mau kalah.
Saya meminta agar mereka fokus dengan diri sendiri dulu.
Beberapa kali, saya mengamati Langit ketika wudu memang lebih dulu selesainya. Namun, ketika wudunya rata dan sesuai aturan, tentu saya tidak memintanya mengulang. Hari itu, saya lebih perhatikan wudunya.
“Mas Langit, tunggu di sebelah sana, ya,” pinta saya.
“Lah, kenapa?” rasa penasarannya mulai muncul.
Baik Langit atau anak-anak lain, mereka sudah paham jika diminta menunggu, artinya harus mengulang. Sudah ada kesepakatan sebelumnya.
“Maaf, ya, karena Bu Eva dan teman-teman melihat wudunya Mas Langit buru-buru, jadi kurang rata, dan membasuhnya juga cuma dua kali setiap gerakan, jadi Mas Langit harus mengulang,”
“Alah … gak usah, ya, Bu. Kan sunah. Jadi, dua kali juga gak apa-apa.”
Jawaban yang tidak terduga. Saya harus mencari alasan logis agar bisa diterima oleh Langit.
“Tiga kali juga sunah Rasul, lo. Lagi pula Mas Langit wudunya juga cepat-cepat, jadi membasuhnya kurang rata.”
Alhamdulilah Langit bersedia mengulang wudunya. Ia harus menerima konsekuensi yang sudah disepakati. Jika tidak begitu, anak-anak akan menganggap saya tidak adil. Mereka cenderung berpegang pada aturan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu, jika dibiarkan, bisa berdampak pada persepsi anak-anak. Bahwa wudu cepat dan membasuh dua kali itu sangat boleh. Khawatir saya dan guru-guru lain, jika dibiarkan dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan.
Tak berhenti di situ. Ada kekhawatiran baru yang muncul di benak saya: kira-kira yang saya sampaikan kepada Langit sudah benar atau justru keliru? Saya tak ingin membiarkannya berlarut-larut. Solusinya yaitu segera konfirmasi kepada Bu Wiwik dan Pak Kambali.
Alhamdulillah, jawaban Bu Wiwik dan Pak Kambali cukup melegakan. Sejak awal, anak-anak telah diajarkan membasuh tiga kali setiap gerakan. Syukur, saya tidak keliru dalam mengambil tindakan.
Terima kasih, Anak-Anak. Karena kalian, gurumu ini jadi banyak belajar.