“Kita baca dulu,” kata Pak Amdjad.
Sebelumnya, beliau telah membagikan buku kepada semua yang duduk di ruang tamu beliau. Ada tujuh orang. Saya, Pak Adhit, Pak Aruf, Bu Wiwik, Bu Layla, Bu Eva, dan Bu Ambar. Tak berselang lama, beliau menyebut halaman yang hendak dibaca. Beliau ajak kami semua untuk membaca bersama-sama. Dengan lagu yang beliau contohkan. Kami mengikutinya hingga akhir.
Di Sekolah, setiap hendak salat, sembari menunggu kedatangan teman-teman lainnya, anak-anak melantunkan syair asmāul ḥusnā. Memang syair asmāul ḥusnā ada berbagai versi. Yang biasa dilantunkan anak-anak: versi yang disusun Pak Amdjad. Seluruhnya berjumlah 44 baris. Terdiri atas empat baris pembuka, 26 baris asmāul ḥusnā, dan 14 baris berisi doa sebagai penutup.
Kamis (22/06/2023) itu kami sangat bersyukur. Mendapat kesempatan sowan beliau. Di Jalan Bledak Kantil II nomor 3, Tlogosari, Semarang. Itulah alamat rumah beliau. Rumah tersebut menghadap ke utara. Sebelah kanan kirinya berimpit dengan rumah lain. Khas perumahan yang terkesan berdesak-desakan. Antara rumah dengan jalan hanya terpisah selokan yang lebarnya tidak lebih dari 60 cm. Teras rumah difungsikan sebagai ruang tamu. Di teras tersebut terdapat meja yang dikelilingi sejumlah kursi. Satu kursi panjang di sebelah selatan meja menghadap ke utara. Di sebelah timur meja terdapat tiga kursi menghadap ke barat. Dan di sebelah utara meja terdapat dua kursi menghadap ke selatan. Melihat rumah Pak Amdjad, saya menangkap kesan kesederhanaan pemiliknya.
Kami berangkat dari Sekolah pukul 08.15. Menggunakan mobil Yayasan. Merek Innova. Mas Yo—sopir—dan Bu Layla duduk di bagian depan. Di bagian tengah, Bu Ambar, Bu Eva, dan Bu Wiwik. Bagian belakang, saya, Pak Adhit, dan Pak Aruf. Perjalanan melewati jalan tol. Masuk tol Banyumanik dan keluar di exit tol Gayamsari. Lalu melewati Jalan Supriyadi kemudian masuk kompleks Perumahan Tlogosari. Mobil tidak bisa parkir di depan rumah Pak Amdjad. Lebar jalan di depan rumah hanya cukup untuk lewat satu mobil. Mas Yo memilih parkir di lapangan. Berjarak sekitar 50 meter dari rumah Pak Amdjad.
Kami turun di tempat parkir tersebut dan berjalan kaki menuju rumah Pak Amdjad. Tiba di rumah beliau sekitar pukul 09.00. Saya mendekati pintu yang sudah terbuka dan mengucap salam. Terdengar jawaban salam dari dalam rumah. Suara seorang perempuan. Sudah sepuh. Saya menduga: istri Pak Amdjad.
“Dari Hidayatullah?” tanya perempuan itu.
“Nggih, Bu,” jawab saya.
“Silakan duduk! Tunggu sebentar, ya!”
“Nggih, Bu.”
Kami duduk di kursi yang ada di teras rumah. Semua kursi terpakai oleh kami. Tanpa sisa. Tak berselang lama, Pak Amdjad rawuh. Sembari menenteng kursi plastik. Perawakan beliau kurus tetapi energik. Saya segera mempersilakan beliau duduk di kursi panjang. Saya pilih duduk di kursi plastik. Kami ditemui beliau dalam suasana yang sangat ramah
“Bagaimana ceritanya, hingga Pak Kiai bisa menyusun syair asmāul ḥusnā?” tanya saya.
“Ceritanya panjang,” jawab beliau.
Sesaat kemudian beliau berdiri dari duduknya. Berjalan masuk ke dalam. Lalu beliau kembali menemui kami. Dengan membawa setumpuk buku. Satu per satu, buku itu dibagikan kepada kami.
Beliau mulai bercerita. Bagaimana latar belakang beliau menyusun syair asmāul ḥusnā. Sembari bercerita, beliau menyebutkan halaman buku. Di halaman itulah tertulis kisah yang beliau sampaikan secara lisan.
Walau tidak pernah tinggal di pesantren, beliau sangat mahir dalam ilmu nahwu—salah satu cabang pelajaran bahasa Arab—yang biasa dipelajari di pesantren. Itu karena beliau tinggal di lingkungan pesantren. Sejak kecil beliau sudah belajar pelajaran yang diajarkan di pesantren, meskipun tidak mukim di pesantren.
Beliau juga menceritakan filosofi empat baris pembuka. Mengapa kata-kata tersebut yang beliau pilih? Mengapa diakhiri doa? Mengapa kalimat-kalimat itu yang dipilih sebagai doa penutup? Semua beliau terangkan dengan runtut dan jelas.
“Kok bisa syairnya enak dilagukan?” tanya saya.
“Sejak kecil saya itu suka musik. Waktu kecil saya dibikinkan gitar oleh bapak saya,”
“Berarti, Pak Kiai bisa main gitar?”
“Bisa. Lo, saya juga punya buku tentang lagu-lagu.”
Pak Amdjad beranjak dari duduknya. Masuk ke dalam lalu keluar lagi sembari membawa setumpuk buku. Beliau membagikan satu per satu buku tersebut. Beliau mulai menyebut halaman untuk dibuka. Setelah itu beliau mulai menjelaskan isi halaman yang dimaksud. Buku ini memuat selawat yang dilengkapi dengan not lagunya.
“Pak Kiai, dari buku ini berarti sekarang usia Pak Kiai 75 tahun?”
“Iya. Saya ini sudah tua,” jawab Pak Amjad.
“Tapi nuwun sewu, gigi Pak Kiai masih lengkap. Pak Kiai juga tampak sehat. Bagaimana resepnya, Pak Kiai?”
“Ya, alhamdulillah. Saya sehat. Saat Corona kemarin, juga aman.”
Kali ini, Pak Amdjad beranjak masuk lagi. Pun sama dengan sebelumnya. Beliau keluar sambil membawa setumpuk buku. Satu per satu, buku itu beliau bagikan. Isinya tentang resep hidup sehat. Itu berdasar pengalaman beliau. Selama bertahun-tahun beliau mempraktikkan dan menelitinya. Beliau sebutkan beberapa halaman. Lalu beliau membahas isi pada halaman tersebut.
Masyaallah. Pak Amdjad memang luar biasa. Saya takjub dengan ketelatenan beliau. Pengalaman hidup beliau jadikan sarana belajar dan penelitian. Tidak hanya berhenti di situ. Beliau juga masih sempat mengabadikan pengalaman itu dalam bentuk tulisan. Buku yang memuat tulisan tersebut dapat dibaca oleh banyak orang. Bukan hanya yang seusia beliau, melainkan juga khalayak lain yang usianya di bawah beliau.
Saya dapat banyak ilmu dari beliau. Saya juga mendapat inspirasi dari ketelatenan beliau dalam menulis. Dengan menulis, beliau dapat menyusun buku. Buku yang beliau susun memberikan kemanfaatan bagi orang lain—para pembacanya. Itu berarti beliau memberi manfaat untuk orang lain. Saya jadi teringat salah satu hadis Rasulullah. Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi insan lain.
Semoga Allah melimpahkan rahmat, kesehatan, dan keberkahan hidup kepada Pak Amdjad, keluarga beliau, para pembaca, dan kita semua. Amin. (A1)
[…] Menyambung berikutnya, lantunan nazam asmaulhusna. Untaian zikir berisi 99 nama Allah gubahan K.H Amdjad, ulama yang berdomisili di Semarang, itu dipungkasi dengan […]