Seusai salat Zuhur berjemaah, waktunya anak-anak makan siang. Mereka melipat alat salatnya terlebih dahulu, lalu mengembalikannya ke lemari yang sudah disediakan. Lemari ini khusus untuk menyimpan alat salat kami.

Anak-anak biasanya berlomba-lomba agar bisa meletakkan alat salat di lemari lebih dulu. Namun, mereka tetap berbaris tertib secara bergantian. Ada satu anak yang terlihat begitu santai. Hampir tidak pernah buru-buru dalam melipat sajadah. Dialah Naufal.

Naufal selalu menjadi yang terakhir keluar dari musala selepas salat Zuhur. Ada kebiasaan baik yang ia lakukan. Setelah semua anak kembali ke kelas, Naufal mulai beraksi. Yang ia lakukan adalah menata alat salat yang ada di lemari. Sampai-sampai hampir setiap hari ia tidak mengikuti doa makan bersama teman-temannya. Setelah menyusul berdoa sendiri, baru ia makan.

Memang tak bisa disangkal. Beberapa anak belum memperhatikan kerapian dalam menata alat salatnya. Sehingga masih kurang rapi tatanannya di lemari. Terkadang ada sajadah atau mukena yang hampir jatuh atau bahkan benar-benar jatuh. Itukah yang menggugah hati Naufal untuk membereskannya?

Sering kali saya memperhatikan apa yang dilakukan Naufal. Bapak dan Ibu Guru lain pun sudah mengetahui hal ini. Suatu hari saya penasaran.

“Kamu kok suka sekali menata sajadah di lemari kenapa, Nauf?” tanya saya tanpa basa-basi.

Ia berpikir sejenak sembari memegang dagunya.

“Karena ikhlas,” jawabnya malu-malu.

Mendengar jawaban itu, saya mengurungkan niat untuk bertanya hal lain.

“Masyaallah. Terima kasih, sudah dibantu, ya.”

“Sama-sama,” ucapnya sembari senyum tersipu malu.

Tak sampai di situ. Selesai makan, Naufal masih sempat membantu menata tepak makan milik teman-temannya. Padahal ia mulai makan paling akhir.

Anak-anak menata tepak makan di meja kecil di luar kelas. Naufal sudah stand by di depan meja kecil itu. Ia bersiap menata dan menyusun tepak-tepak dengan rapi. Karena tak semua anak bisa menyusunnya dengan rapi. Beberapa kali ia juga menawarkan bantuan untuk membawakan tepak makan saya.

“Sini, Bu. Biar aku aja,” katanya.

Begitu sering, mudah, dan ringan kalimat penawaran bantuan seperti itu terucap oleh Naufal.

Seketika saya teringat satu kejadian, ketika gladi kotor di peletakan batu pertama SD Islam Hidayatullah 02. Kami mendapat roti kemasan yang dibawakan oleh Bu Ambar. Selesai makan, sampahnya dikumpulkan di plastik besar bekas roti tadi. Saya telah menyelesaikan makan, hendak membuang plastiknya. Tiba-tiba Naufal menawarkan bantuan untuk membuangkan.

Bapak dan Ibu Guru beberapa kali juga menyaksikan Naufal membantu teman-temannya dalam hal lain. Semoga Naufal bisa istikamah dan menginspirasi teman-temannya, sebagaimana ia dahulu awalnya terinspirasi dari Ridho, Aza, dan Najwa, perihal menata alat salat di lemari musala. Konsistensi Naufal dapat dibuktikan. Ia masih melakukannya setiap hari sampai saat ini. Jiwa suka membantu yang dimiliki Naufal terpelihara dan tumbuh subur, semata-mata karena ia ikhlas.

Naufal dan Ridho membaca buku pada jam istirahat.
Bagikan:
6 thoughts on “Karena Ikhlas”

Comments are closed.

Scan the code