“Sallallahu ‘ala Muhammad. Sallallahu ‘alaih wa sallam. Sallallahu ‘ala Muhammad. Sallallahu ‘alaih wa sallam”
Lantunan selawat Nabi memancar ke segenap sudut sekolah kami. Gema selawat itu berasal dari pelantang yang terletak di atas pintu kantor TU. Senandung selawat itu dipakai sebagai bel tanda pergantian jam pelajaran atau waktu masuk kelas selepas jam istirahat.
Ketika bel berbunyi pukul 09.25, Kamis (06/04/2023), anak-anak harus masuk kelas untuk menunaikan salat Duha. Seketika, semua aktivitas terhenti.
Anak-anak bergegas lari menuju kelas untuk persiapan wudu. Seolah-olah mereka saling berlomba untuk jadi yang pertama menempatkan diri di karpet. Ada yang melepas kaus kaki, melipat lengan baju, atau melipat celana terlebih dahulu.
“Hitungan kelima, sudah siap!” aba-aba Bu Wiwik dengan suara tegas tapi terukur.
Aba-aba dengan hitungan itu dimaksudkan untuk menjaga fokus anak-anak agar tidak terganggu aktivitas lain. Benar saja, pada hitungan kelima, hampir semua anak sudah duduk di karpet. Tinggal satu dua anak yang tampak belum sempurna siap.
Kapten segera memimpin tepuk wudu dan lafaz niat wudu. Guru akan menentukan urutan kelompok wudu menurut ketertiban barisan. Ternyata, barisan putri terpilih untuk mendapatkan giliran wudu pertama. Barisan putra menyusul.
Saya, Bu Wiwik, dan Ustaz Adhit mendampingi anak-anak berwudu. Tersedia delapan keran wudu. Tujuh keran berjajar dalam satu petak. Satu keran yang lain terpisah sekitar dua meter.
Satu keran yang terpisah itu disediakan khusus untuk anak-anak yang wudunya masih perlu dibimbing. Biasanya Ustaz Adhit yang membimbing. Saya dan Bu Wiwik mendampingi tujuh anak yang sudah bisa berwudu secara mandiri.
Sesekali saya menjalankan tugas pendampingan seorang diri. Bu Wiwik mengawal anak-anak yang sudah selesai wudu kembali ke kelas. Tujuannya, memastikan ketertiban mereka sejak meninggalkan tempat wudu, masuk kelas, hingga persiapan salat Duha.
Saya masih di area wudu. Saya periksa sekeliling dan berniat hendak kembali ke kelas. Ternyata masih ada Rayya.
“Rayya sudah wudu atau belum?” tanya saya memastikan.
“Belum, Bu. Aku habis dari kamar mandi,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Kemudian saya mendampingi Rayya berwudu.
“Sudah siap?” tanya saya sembari memperhatikan lengan baju dan celana Rayya.
“Sudah,” jawabnya sambil memutar keran.
“Yuk, kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim,” tuntun saya.
Baru saja membasuh tangan, tiba-tiba Rayya mundur. Saya sempat mengira Rayya belum siap berwudu. Atau, jangan-jangan ia masih ingin bermain? Ia belum puas bermain pada jam istirahat?
Ah, ternyata dugaan saya keliru. Rayya mundur beberapa langkah untuk mematikan keran urutan kelima yang masih mengucurkan air.
Rayya berwudu menghadap ke utara. Saya di depannya menghadap ke selatan. Keran yang masih terbuka itu berada di sebelah kanan Rayya, tetapi ia membelakanginya.
Saya jadi tercekat. Semestinya saya melihat keran itu. Dengan berjarak hanya sekitar 1,5 meter di depan saya, pasti keran itu terjangkau oleh pandangan saya. Namun, saya sama sekali tidak menyadari hal itu.
Masyaallah, kepekaan Rayya luar biasa. Hebatnya lagi, ia tak merasa perlu untuk melaporkan kemubaziran itu kepada saya. Spontan ia mengambil inisiatif sendiri. Tanpa perlu meminta orang lain melakukannya. Juga tanpa menunggu perintah. Bahkan, tanpa menggerutu.
Serta-merta timbul perasaan bersalah pada diri saya. Namun, sekaligus saya bangga atas apa yang dilakukan Rayya. “Maafkan gurumu ini, ya, Nak. Sudah tidak peka, masih juga suuzan lagi,” batin saya.
Guru-guru yang lain juga sering mendapati Rayya menata sandal teman-temannya yang tengah berwudu. Lagi-lagi tanpa diminta. Hampir setiap hari. Istikamah. Setiap kali melihat sandal tidak tertata rapi, ia tergerak untuk merapikannya. Otaknya seperti sudah terprogram untuk memastikan semua sandal berjajar rapi.
Tentu banyak hal positif lain yang terjadi di Sekolah berkat kepedulian Rayya. Anak sekecil itu sudah begitu konsisten menunjukkan sikap ringan tangan. Peduli terhadap sesama, peka terhadap lingkungan, dan langsung take action.
Boleh jadi, selama ini lebih banyak lagi aksi peduli Rayya yang tidak terlihat mata manusia. Namun, mustahil ada amal kebajikannya yang luput dari pengamatan-Nya.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscya dia akan melihat (balasan)-nya; dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7—8)
Saya, juga semua warga SD Islam Hidayatullah 02, kiranya tidak perlu sungkan untuk berguru kepada Rayya. Pekanya, pedulinya, ringan tangannya, spontannya, dan istikamahnya, … semuanya adalah teladan bagi kami: guru-guru dan teman-temannya.
