“Tulisan anak-anak jadi dibagikan, Bu?”
“Mboten, Pak,” jawab Bu Wiwik.
“Lho! Ada apa?” selidik saya.
“Tidak tahu, Pak.”
“Coba, insyaallah akan saya komunikasikan.”
Saya sangat bisa memahami jawaban Bu Wiwik. Biarlah saya saja yang berkomunikasi dengan instansi tersebut.
Saya komunikasi dengan personel di instansi tersebut yang mengurusi pembukuan tulisan anak-anak. Saya menanyakan progres pembukuan tulisan anak-anak. Ternyata memang tidak jadi dibukukan.
Saya sempat kecewa. Bukan apa-apa. Masalahnya, sejak awal anak-anak sudah diberitahu: tulisan tersebut akan dibukukan. Bila tidak jadi, jelas mengecewakan anak. Memang keadaan mengecewakan bisa digunakan sebagai bahan edukasi anak. Namun, atas alasan apa? Belum lagi terkait masalah pemenuhan janji.
Bagi anak-anak, pemberitahuan bahwa tulisan mereka akan dibukukan itu boleh jadi lebih dari sekadar berita. Saya menduga, anak-anak menangkap kabar gembira itu sebagai janji. Bila tidak terealisasi—apalagi tanpa penjelasan dan alasan yang terterima nalar anak-anak—janji gurunya itu akan menjadi bumerang. Ada risiko anak-anak menganggap perkataan gurunya tidak lagi harus digugu. Bahkan tidak mustahil timbul efek yang lebih parah: anak-anak menganggap ingkar janji sebagai hal yang lumrah. Mereka punya dalil yang sahih: contoh dari gurunya—sekalipun baru satu kali dilakukan—adalah model yang pantas untuk ditiru.
“Kalau kita bikin sendiri, gimana, Bu?”
“Nggih, Pak, sepakat. Anak-anak juga sudah ada yg menanyakan,” kata Bu Wiwik seakan menguatkan saya.
“Siapa yang menanyakan, Bu?”
“Ken, Pak.”
“Kalau begitu, mohon bantuan Bu Wiwik untuk menyiapkan draf bukunya. Bu Ambar akan saya minta untuk menyiapkan anggarannya.”
“Nggih, Pak.”
Beberapa hari kemudian, draf yang disusun Bu Wiwik telah jadi. Saya melihat sekilas.
“Sepertinya tulisan anak tidak terlihat jelas, Bu?”
“Iya, Pak. Apa mungkin karena garisnya terlalu tebal. Pripun, bila anak-anak membuat tulisan baru saja?”
“Waktunya cukup?”
“Insyaallah cukup, Pak.”
Akhirnya, anak-anak membuat tulisan baru. Dengan bimbingan gurunya. Konsepnya pun berbeda. Sebelumnya, disiapkan beberapa gambar, anak memilih satu gambar lalu menuliskan cerita berdasar gambar. Sekarang, anak menuliskan cerita berdasar pengalamannya di Sekolah.
Kertas yang dipakai untuk menulis diganti oleh Bu Wiwik. Dibikin sedemikian rupa sehingga garisnya tipis.
Setelah tulisan anak-anak selesai dengan bimbingan guru, draf buku disusun dan ditunjukkan ke saya. Dibandingkan sebelumnya, draf kali ini, tulisan anak tampak lebih jelas. Perkiraan Bu Wiwik sepertinya benar. Garis tipis yang jadi latar tulisan sangat memengaruhi kejelasan tulisan. Dan yang mengejutkan saya: isi tulisannya.
“Ini ide tulisan dari Bu Wiwik?” selisik saya.
“Bukan, Pak. Ide tulisan murni dari anak-anak. Saya dan Bu Eva memeriksa ejaan kata, ketepatan huruf, dan yang sejenisnya.”
Masyaallah, ini di luar dugaan saya. Isi tulisannya lebih enak dibaca dan dirasakan. Betul-betul membanggakan. Dulu, dengan stimulan berupa gambar, ide tulisan anak tidak sebaik ini. Memang yang ini, stimulannya pengalaman masing-masing anak. Mereka merasakan sendiri kejadiannya. Bisa jadi itulah faktor pemicunya. Tetapi bisa pula karena memang terkait dengan usia dan frekuensi latihan mereka yang sudah bertambah beberapa bulan. Apa pun itu, saya patut bersyukur atas capaian anak-anak kelas 1 itu.
Setelah difinalisasi, draf tersebut dicetak menjadi buku. Buku karya siswa itu diberi judul Catatan Kecil Siswa SD Islam Hidayatullah 02 Tahun Ajaran 2022/2023. Peluncurannya dilakukan dalam kemasan acara Ekshibisi Kreativitas Siswa (21/06/2023). Selain buku karya siswa, diluncurkan pula buku karya guru.
Ups, saya jadi teringat sebuah maksim pedagog. Guru tidak dapat mengajarkan apa yang guru ketahui; guru tidak dapat mengajarkan apa yang guru kehendaki; guru hanya dapat mengajarkan apa yang memang ada dalam diri guru.
Selain buku karya siswa, ternyata juga ada buku karya guru. Itu artinya, selain mengajari siswa menulis, Bu Wiwik sendiri juga menulis. Tidak hanya meminta tetapi juga memberi contoh. Kalau begitu, saya justru lebih yakin inilah faktor pemicu utamanya: guru mengajarkan apa yang ada dalam dirinya. Bukankah Rasulullah juga melakukan hal yang demikian? (A1)