Jumat (06/05/2023) siang yang cukup terik, sekitar pukul 10:30. Sebagian anak mulai berhamburan ke luar ruangan. Satu per satu murid mulai dijemput oleh orang tua atau jasa antar jemput. Ada juga beberapa anak yang masih makan katering di kelas.
Khusus pada hari Jumat, mulai bulan Syawal ini, kepulangan anak-anak menjadi pukul 10:30. Ada beberapa pertimbangan dari Pak Kambali sebagai Kepala Sekolah. Salah satunya dengan tujuan agar anak-anak putra dapat berlatih salat Jumat di masjid sekitar rumahnya. Jika tidak memungkinkan, tidak mengapa. Bapak dan Ibu Guru berpesan, agar tetap melaksanakan salat Zuhur di rumah.
Sesekali kami yang berada di ruang guru melirik ke arah jam. Sampai pukul 11:30, ada beberapa anak yang belum dijemput karena alasan tertentu. Bu Wiwik memastikan siapa saja yang belum dijemput. Ada Adit, Kennard, Naufal, Sultan, dan Qaleed.
Kelima anak tersebut awalnya tengah asyik bermain di lapangan. Lalu Sultan, Qaleed, dan Naufal menghampiri ruang guru. Ternyata mereka sedang main petak umpet. Saat mereka tengah asyik bersenda gurau, Bu Wiwik mengingatkan kalau sudah waktunya salat Zuhur.
“Ayo, salat Zuhur, yuk, wudu dulu,” seru Adit kepada teman-temannya.
Mereka bergegas wudu. Saya dan Bu Ambar menyusul. Saya ke toilet terlebih dahulu. Sembari menunggu dua toilet kosong, Bu Ambar mengawasi anak-anak berwudu. Selepas wudu, anak-anak berlari ke musala.
Saat memasuki musala, saya mendapati Kennard sedang azan. Namun yang lain masih ada yang berdiri dan mengobrol.
“Bu Eva, aku yang jadi imam, Kennard yang azan,” Adit melapor.
“O, iya,” saya mengangguk tersenyum.
“Teman-Teman, kalau ada yang sedang azan, didengarkan sambil dijawab dulu. Silakan sambil duduk!” lanjut saya.
Mereka paham dan langsung mengambil posisi duduk di saf masing-masing. Saya mendengarkan Kennard azan, tetapi ada yang keliru.
“Mas Ken, azannya diulangi, ya. ‘Asyhadu alla ilaha illallah’, lalu ‘Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah’. Masing-masing dua kali, ” saya mengingatkan.
Setelah diingatkan, ternyata Kennard masih keliru urutan pelafalannya. Sesekali Adit dan Qaleed juga ikut mengingatkan.
“Bu Eva, aku aja yang azan,” Qaleed mengajukan diri.
“Kennard dulu enggak apa-apa, ya, besok gantian. Coba lagi, ya, Mas Ken,” saya berusaha menyelesaikan yang sudah dimulai.
Takjub saya, Kennard juga tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyerah. Ia masih semangat melanjutkan azan. Kennard berhasil azan sampai tuntas meski dengan bimbingan. Hal yang wajar, karena anak-anak harus dibimbing.
“Ayo, salat sunah dulu!” ajak Adit.
Teman-temannya menurut. Selanjutnya ikamah dikumandangkan oleh Naufal. Mereka salat Zuhur berjemaah dengan tertib sampai doa dan zikir, kecuali satu anak. Saya memperhatikan dari belakang, ternyata Sultan kurang fokus. Ia berjalan ke sana kemari. Mendekati temannya satu per satu, termasuk Adit sebagai imam.
Hebatnya, mereka tetap fokus salat. Tidak goyah sama sekali. Dua kali saya ingatkan dan saya ajak kembali ke saf, ternyata kurang berpengaruh. Ketika anak-anak lain selesai salat, saya mengajak Sultan salat ulang bersama saya, Ustazah Layla, dan Bu Ambar.
“Sultan, karena tadi Sultan salatnya tidak fokus, jadi Sultan harus mengulang salatnya,”
“Enggak mau, Sultan mau main aja.”
“Salat Zuhur dulu, baru nanti main lagi. Kalau tidak mau salat sendiri, ayo salat bareng Bu Eva.”
Pada akhirnya Sultan bersedia salat berjemaah bersama kami. Semua sikap yang dilakukan kelima anak tersebut, bagi Bapak dan Ibu Guru adalah sesuatu yang amat disyukuri. Harapannya, mereka dapat terus belajar membawa diri di mana pun berada.
Belajar menjadi pemimpin, tidak menyerah, saling mengingatkan, percaya diri, dan siap menerima konsekuensi merupakan karakter positif yang berguna untuk mengembangkan potensi anak. Baik untuk dirinya sendiri, maupun kehidupan lingkungan sekitar hingga di masa depan nanti.