“Baca basmalah sambil cuci tangan. Kumur-kumur, basuh hidung, basuh muka. Tangan sampai ke siku, kepala, dan telinga. Terakhir basuh kaki, lalu doa. Niat wudu ….”
Kapten kelas memimpin tepuk dan niat wudu. Seperti biasa, sebelum menyilakan menuju tempat wudu, Bu Wiwik mengingatkan kembali murid-muridnya untuk menyempurnakan wudu mereka.
Belakangan ini, Bu Eva-lah yang sering mendampingi anak-anak berwudu. Bu Wiwik ingin fokus pada sikap anak-anak ketika menunggu sebelum salat Zuhur dimulai. Biasanya, saat “kloter” wudu pertama hadir di musala, di sana baru ada Pak Slamet. Bu Wiwik ingin memastikan anak-anak dapat menjaga diri sebelum masuk musala. Maka, Bu Wiwik mencegat mereka di depan musala dan menanyakan apakah sudah siap masuk musala. Jika menjawab “siap”, mereka harus konsekuen: bersikap yang wajar sebagaimana sikap ketika di tempat ibadah.
Hari ini, Bu Wiwik bermaksud untuk mengecek kembali wudu murid-muridnya.
“Lalu, siapa yang nanti mendampingi anak-anak di musala?” batin Bu Wiwik.
Tetiba, tebersit sebuah ide.
“Kali ini, Bu Wiwik akan menunjuk seorang murid untuk menjadi pengawas bagi teman-temannya. Jika ada murid yang kurang tertib, silakan ditulis di kertas ini,” jelas Bu Wiwik.
“Tertib itu bukan berarti diam tidak bergerak seperti patung,” lanjut Bu Wiwik.
“Ngobrol boleh, Bu?” tanya seorang murid.
“Boleh, dong. Tetapi dengan level 1 atau bisik-bisik. Dan ngobrol-nya tidak lama, seperlunya saja,” jawab Bu Wiwik.
“Jadi, hari ini Bu Wiwik memberi kepercayaan kepada?”
Bu Wiwik sengaja menjeda kalimatnya. Murid-murid penasaran sekaligus penuh harap agar bisa terpilih.
“Mbak Cemara.”
Anak yang namanya disebut kaget sekaligus bangga. Namun, dia tampak menyembunyikan rasa bangganya.
“Mbak Cemara, nanti tulis di kertas ini, ya. Bu Wiwik letakkan di atas meja ini. Setelah wudu, kertas dan pensilnya bisa diambil dan dibawa ke musala.”
Cemara mengangguk.
***
Sekembalinya dari tempat wudu, Bu Wiwik merasakan ada yang berbeda. Murid-murid melantunkan asmaulhusna dengan tenang. Mereka bersikap wajar.
Beberapa kali seorang anak yang duduk di depan Cemara tampak berbicara kepada Cemara sambil menunjuk kertas yang diletakkan di atas sajadah Cemara. Bu Wiwik menduga anak tersebut berusaha memengaruhi Cemara.
***
Salat Zuhur berjemaah telah usai. Muri-murid diperkenankan mengembalikan peralatan salatnya. Sabrina menghampiri Bu Wiwik untuk bersalaman.
“Enak, ya, tadi salatnya khusyuk,” ucap Sabrina sembari salim.
“Kok bisa khusyuk kenapa, Sab?” tanya Bu Wiwik ingin tahu.
“Soalnya tadi tertib, Bu.”
“Kalau dibandingkan kemarin, lebih tertib yang mana?”
“Ya, hari ini, lah,” jawab Sabrina yakin.
Selama PAT, kepulangan murid-murid pukul 12.15. Setelah anak-anak berdoa sebelum pulang, Bu Wiwik merefleksi kegiatan salat Zuhur hari ini. Bu Wiwik menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas capaian murid-muridnya.
“Dalam catatan ini, ada nama Mas Ridho yang dicoret. Mengapa demikian, Mbak Cemara?”
“Tadi saya kira Ridho melempar sajadahnya, Bu. Ternyata dia enggak sengaja.”
“Iya, Bu. Tadi pas aku mau buka sajadah, aku tarik ini (pengait sajadah). Terus, enggak sengaja terlempar,” jelas Ridho.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak Cemara, karena sudah bersikap objektif,” ucap Bu Wiwik.
“Ini juga ada nama Mbak Najwa dan Nayla yang dicoret. Alasannya apa, Mbak Cemara?”
“Oh, itu tadi mereka ngobrol. Lalu aku catat namanya. Tapi ternyata ngobrol-nya cuma sebentar dan level 1. Jadinya aku coret, Bu,” jawab Cemara memberi argumen.
“Masyaallah. Bu Wiwik dan Bapak Ibu Guru bangga. Cemara bisa menjadi anak yang dapat dipercaya. Mbak Cemara juga teguh pendirian. Meskipun tadi ada yang bermaksud memengaruhi, Mbak Cemara tidak goyah. Terima kasih, Mbak Cemara.”
Cemara tersenyum.