As-salāmu’alaikum.”

Pintu ruang guru terbuka. Sesaat kemudian, seorang anak masuk ruangan. Laki-laki. Daffa, namanya. Cara masuknya aneh. Ia merangkak. Otomatis saya penasaran. Mengapa Daffa merangkak? Sakitkah? Atau hanya bermain? Kalau bermain, mengapa memilih di ruang guru? Bukankah ruang kelas lebih luas? Apalagi ini kan sudah jam pulang? Sebagian besar teman-temannya sudah pulang. Jadi, ruang kelas lebih leluasa untuk bermain.  

Saya tidak boleh berburuk sangka. Lebih baik bertanya langsung. 

“Kok mbrangkang, kenapa, Daf?”

Daffa tidak menjawab. Justru ia terus merangkak maju. Yang dituju meja Bu Eva. Saya amati tubuh Daffa. Barangkali saya melihat luka atau petunjuk lainnya.

Masyaallah! Ketemu.

Kedua kaki Daffa masih bersepatu. Rupanya ia masuk ruang guru tanpa melepas sepatu. Dengan merangkak dan kakinya masih bersepatu, sebetulnya Daffa menunjukkan iktikad baiknya: tidak bermaksud mengotori lantai ruang guru.

Tetapi itu tanggung. Mengapa tidak melepas sepatu sekalian? Bukankah bila demikian, ia tidak perlu bersusah payah merangkak? Bukankah berjalan wajar lebih nyaman dibanding merangkak?

Ya, memang saat itu Daffa hendak segera pulang. Tetapi barangnya masih ada yang tertinggal di meja Bu Eva. Ia ingin mengambilnyaSementara, ia sudah telanjur memakai sepatu. Sekaligus ingin segera pulang. Ia pilih masuk ruang guru dengan merangkak. Tak perlu lepas sepatu. Ruang guru tidak terkotori oleh sepatunya. 

“Daf, sepatunya dilepas dulu baru masuk ruangan!” kata saya.

Daffa tetap tidak merespons. Ia terus bergerak. Bahkan sudah tiba di meja Bu Eva. Apa yang dilakukan Bu Eva terhadap Daffa? Apakah memberikan barangnya? Atau sebaliknya? 

Bu Eva meminta Daffa mengulang cara masuknya. Ia diminta masuk ruangan sebagaimana mestinya. Daffa menurut. Ia balik arah. Kembali ke luar ruangan. Sepatunya ia lepas. Ia salam dan masuk dengan berjalan wajar. Bu Eva pun memberikan barangnya. 

“Salim dulu,” ujar Bu Eva. 

Daffa mengajak salim. Bu Eva dan Daffa bersalaman. Bu Eva masih meneruskan kalimatnya, “Salim dengan yang lain juga!”

Daffa mendekat dan mengajak salim Bu Ambar, Bu Wiwik, dan terakhir saya

Alhamdulillah, Bu Eva menunjukkan konsistensinya. Di satu sisi, itu bisa jadi menyakitkan Daffa. Ia sudah bersusah payah masuk ruangan dengan merangkak. Tetapi ia masih harus mengulanginya. Berarti ia harus bolak-balik merangkak tanpa hasil. Baru setelah masuk ruangan dengan berjalan wajar, ia mendapatkan hasilnya. Namun, di sisi lain, Daffa memperoleh pelajaran dan pemahaman. Melakukan sesuatu sebagaimana mestinya berdampak baik. Jika sebaliknya, justru berdampak negatif. Dan Daffa merasakan sendiri pengalaman itu. Bukan sekadar diberitahu.

Setelah salim dengan saya, Daffa keluar ruangan sambil mengucap salam. Saya ikut menjawab salamnya. Tiba-tiba terbetik dalam pikiran, “Sebenarnya ini bukan hanya pelajaran untuk Daffa.” Saya pun mengakui, ini juga pelajaran untuk diri saya. Saya pun masih sering seperti itu. Pilih jalan pintas, mengabaikan prosedur semestinya. Hanya sekadar ingin cepat. Sekadar memenuhi keinginan dengan mengabaikan perilaku semestinya. Terima kasih atas pelajarannya, Daffa. Saya—gurumu ini—pun masih harus terus memperbaiki diri. (A1) 

Bagikan:
One thought on “Pelajaran bagi yang Dewasa”
  1. First off I want to say fantastic blog! I had a quick question which
    I’d like to ask if you do not mind. I was interested to know how
    you center yourself and clear your mind prior to writing.
    I have had difficulty clearing my mind in getting my ideas out there.
    I truly do enjoy writing however it just seems like
    the first 10 to 15 minutes are generally wasted simply just trying
    to figure out how to begin. Any recommendations or tips? Appreciate it!

Comments are closed.

Scan the code