Deretan tas para siswa berjajar di selasar kelas

Bel penanda kepulangan siswa berbunyi. Bu Wiwik mempersilakan kelompok dengan bintang terbanyak untuk pulang lebih dahulu. Bintang-bintang tersebut merupakan akumulasi perolehan bintang sejak pagi atas kebaikan dan capaian yang dilakukan para siswa dalam kelompok.

Para siswa berhamburan keluar kelas. Mereka ingin segera bermain sreng ban. Permainan tradisional sederhana menggunakan ban motor bekas. Ban itu digelindingkan dan dikendalikan agar tidak ambruk. Seharusnya butuh tongkat sebagai peranti tambahan. Namun, bagi anak kelas 1, penggunaan tongkat justru akan menyulitkan. Meski sederhana, sanana permainan ini diminati anak-anak.

Setelah mematikan AC dan lampu kelas, Bu Wiwik menuju ruang guru.

“Bu Wiwik, itu tasnya anak-anak kok berserakan begitu, ya?” ucap Pak Kambali.

“Iya, Pak. Saya sebenarnya juga tidak nyaman melihatnya. Dulu pernah saya sampaikan, tetapi masih sebatas imbauan,” jelas Bu Wiwik.

“Sebaiknya ditindaklanjuti, Bu,” pinta Pak Kambali.

“Baik, Pak. Insyaallah Rabu besok saya kuatkan lagi ke anak-anak.”

Memang, siang itu dan siang-siang sebelumnya, tas para siswa diletakkan begitu saja di selasar kelas. Bisa dibilang seperti dedaunan yang berserakan. Tidak tertata. Sungguh tak sedap dipandang.

***

Hari berikutnya, jelang kepulangan para siswa, Bu Wiwik mengajak siswanya untuk berefleksi. Salah satu hal yang dibahas adalah isi percakapan Bu Wiwik dan Pak Kambali Selasa siang itu.

“Anak-anak, setiap hari Bapak Ibu Guru mengamati ada beberapa atau bahkan hampir semua tas yang diletakkan di selasar itu berantakan,” jelas Bu Wiwik mengawali refleksi.

“Iya, Bu. Dulu aku pernah kesrimpet,” aku Ridho.

“Nah, kan. Jadi baiknya bagaimana? Tasnya Mas Ridho sepertinya juga masih berserakan, ya?”

Ridho menyeringai.

“Bukan hanya Mas Ridho, tapi hampir semua. Bener gak?”

Para siswa mengiakan.

“Harusnya ditata, Bu Wiwik!” seru beberapa anak sambil mengangkat tangan.

“Alhamdulillah. Ternyata anak-anak sudah tahu, ya .… Jadi, kalau sudah tahu yang benar, ya harus juga dikerjakan. Bu Wiwik dan Bu Eva berharap mulai hari ini tidak ada lagi tas-tas yang berserakan seperti daun kering. Nanti, kalau masih ingin bermain, tasnya disandarkan di tembok selasar. Temboknya yang sebelah timur, yang biasanya dipakai baris oleh anak putri. Paham?”

“Oh, yang dekat rak sepatu itu, ya, Bu Wiwik?” tanya Hafidz mengonfirmasi.

Yup, betul. Baik, karena anak-anak sudah paham, nanti langsung dikerjakan, ya. Silakan sekarang kapten memimpin doa.”

“Teman-Teman, apakah sudah siap berdoa?” tanya kapten Hasna.

“Sudaaah!”

Seluruh siswa dan guru-guru melafalkan doa siang dengan khusyuk dipimpin kapten kelas. Jika tidak, Bu Wiwik tak segan meminta para siswa untuk mengulang. Selepas berdoa, wejangan dan refleksi siang disampaikan oleh Bu Wiwik. Pembelajaran ditutup dengan salam. Kelompok dengan bintang terbanyak berhak pulang lebih dulu.

Kelas telah kosong. Sebagian besar siswa masih asyik bermain di lapangan. Bu Wiwik bersiap menuju ruang guru. Di ambang pintu kelas, Bu Wiwik melirik ke kiri.

Deretan tas para siswa berjajar di selasar kelas

“Alhamdulillah,” batin Bu Wiwik.

Setelah mengambil sandalnya di rak, Bu Wiwik merogoh saku gamisnya. Ia membuka kamera ponsel dan mengabadikan pemandangan di tembok sisi timur selasar. Tampak berjajar tas-tas siswanya yang tertata rapi.

Bu Wiwik segera mengirimkan foto itu ke grup SD Islam Hidayatullah 02. Disertai pesan:

“Bapak Ibu, alhamdulillah percobaan hari pertama cukup menggembirakan. Mohon dibantu mengawal nggih. 🙏🏻”

Pesan tersebut mendapat respons positif dari anggota grup. Ustazah Layla, Bu Eva, dan Ustaz Adhit menyampaikan rasa syukur mereka dan siap mengawal kebiasaan baik ini.

***

Ternyata hanya dengan diberi pengertian yang tak lebih dari lima menit, anak-anak sudah dapat memahami dan memberikan bukti atas pemahaman mereka.

Ada sedikit rasa sesal di hati Bu Wiwik. Mengapa tidak dari dulu. Namun, begitulah adanya. Kadang kita kurang peka terhadap hal-hal yang setiap hari kita jumpai. Kita sering terlena dengan pemikiran: ah, itu kan sepele. Ternyata, hal-hal sepele semacam itu jika diopeni juga akan memberikan kepuasan tersendiri. Jangan sampai: sepele dadi gawe. (A2)

Bagikan:
232 thoughts on “Sepele”

Comments are closed.

Scan the code