Dari kanan ke kiri: Cemara, Valda, dan Iqbal

Masih gasik. Di ruang guru, baru ada Bu Wiwik. Di ruang kelas juga baru ada beberapa anak. Saya masuk ruang kelas dan menyalami anak-anak. Selesai salaman, saya hendak keluar kelas menuju ruangan saya. Namun, belum sempat saya melangkahkan kaki, dari arah pintu terdengar salam.

“Asalamualaikum.”

Sembari menjawab salam, saya perhatikan wajah anak itu. Ternyata Valda. Ia bergegas masuk ruang kelas. Tas masih melekat di punggungnya. Tangan kiri memegang sepatu yang baru saja ia lepas. Hendak ditaruh di rak sepatu/sandal. Di rak itulah anak-anak menyimpan sepatu dan sandalnya. Sandal dibutuhkan anak-anak, terutama saat wudu. Tiap hari anak-anak wudu dua kali. Untuk salat Duha dan Zuhur.

Sebelum ke rak sepatu/sandal, ia menghampiri saya. Tangan kanannya diulurkan, mengajak salaman. Saya sambut tangan Valda dan ia pun bersalaman sembari cium tangan. Setelah itu, baru Valda menaruh sepatunya.

Tangan kiri Valda sudah tidak lagi memegang sepatu. Ia lanjutkan menuju loker. Isi tas hendak ia keluarkan dan ia simpan di loker tersebut. Tiba di depan loker, ia terhenti. Tatapannya tertuju pada salah satu loker.

“Lokernya siapa ini, belum ditutup pintunya?” tanya Valda.

“Loker nomor berapa, Val?” Cemara menimpali, sambil terus asyik dengan buku bacaannya. 

“Nomor 6.”

“Punyaku. Minta tolong ditutupkan, ya, Val?” kata Cemara.

Mendengar percakapan itu, saya menjadi penasaran. Apa yang akan dilakukan Valda? Niat untuk keluar dari ruang kelas saya tunda. Saya perhatikan apa yang akan dilakukan Valda. Saya juga mengamati apa yang dilakukan Cemara.

Ternyata Valda mendekati loker nomor 6, lalu menutupnya. Ia melakukannya dengan wajar. Tidak tampak kesan ia jengkel atau marah kepada Cemara. 

Makasih, Val,” kata Cemara sambil tetap memegang buku yang sedang dibacanya.

“Sama-sama.”

Saat bersalaman dengan saya, Cemara sudah mulai membaca buku. Tidak hanya Cemara yang membaca buku, tetapi beberapa anak lainnya juga demikian. Di salah satu sudut kelas, Bu Wiwik menyediakan berbagai buku bacaan. Bukan hanya yang bersumber dari sekolah, melainkan juga dari sejumlah wali murid yang berkenan meminjamkan buku bacaan. Tiap pagi, anak-anak yang datang gasik sering memanfaatkan waktu untuk membaca buku.

Dari kanan ke kiri: Cemara, Valda, dan Iqbal

Seketika saya membaca istigfar. Seakan saya diingatkan. “Janganlah mudah jengkel atau marah, saat di posisi Valda! Tetaplah santun dan jaga hubungan baik, saat di posisi Cemara!” Skenario Allah tidak mungkin kebetulan. Saya digiring untuk melihat langsung perilaku kedua anak itu. Terima kasih, Valda. Terima kasih, Cemara. Walaupun kalian masih anak-anak, tak tabu saya akui sebagai guru. (A1)

Bagikan:
Scan the code